REPUBLIKA.CO.ID, Subak sudah eksis di Bali sejak abad ke-11. Sebagian literatur bahkan menyebut sejak abad ketujuh. Manajemen subak melibatkan banyak faktor. Mulai dari sistem pembuatan sawah, saluran irigasi dan alat-alat, sampai pada penggarapan sawah dan kegotongroyongan anggota subak. Subak pun masuk dalam kategori warisan budaya. Tak heran kalau UNESCO memberi predikat warisan budaya dunia pada sistem pengairan Bali ini.
Sebuah organisasi subak dibentuk berdasarkan sumber mata air. Pemilik atau penyakap (pekerja sawah) akan masuk ke dalam sebuah organisasi subak yang memiliki atau menggunakan sumber mata air secara bersama-sama, untuk mengaliri sawah-sawah mereka. Anggota subak adalah masyarakat beragama Hindu. Karena itu, ritual Hindu kerap terselip dalam subak.
Saat ini subak memang bukan objek wisata utama di Bali. Menikmati sawah yang berjenjang masih sebatas hiburan gratis bagi mata turis yang hendak menuju tempat wisata lain. Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, I Ketut Suastika, mengusulkan menjadikan subak sebagai alternatif wisata Bali.
Usulnya adalah bagaimana petani bisa menarik manfaat dari kunjungan wisatawan. Tidak hanya sebatas bisa menjual hasil sawah ke turis, tetapi juga memetik manfaat langsung, seperti menarik retribusi bagi turis yang masuk ke area pertanian dan kawasan subak.
Menurut dia, subak layak dijadikan objek wisata karena mengandung nilai budaya dan pariwisata alam. Sebelum usulan itu dibakukan, infrastruktur harus disiapkan. Begitu pula, mental petani menghadapi kunjungan turis masuk ke sawahnya. Jika segalanya telah direncanakan matang, kunjungan turis ke Bali pun diharapkan bisa meningkat. “Subak pasti akan dikunjungi banyak orang,” katanya.