REPUBLIKA.CO.ID, Jenang pada masyarakat Jawa khususnya Solo sudah mengakar sejak zaman Hindu. Tradisi jenang juga ada saat era Walisongo bahkan sampai masa kini.
Jenang selalu hadir sebagai simbol ungkapan rasa syukur kepada-Nya. Dalam semua ritual selamatan masyarakat Jawa khususnya di wilayah Surakarta dan sekitar, makanan khas berupa jenang selalu hadir.
Jenang umumnya dibuat dari tepung beras atau tepung ketan lalu dimasak dengan santan dan ditambahkan gula merah atau gula putih.
Makanan khas itu menjadi simbol doa, harapan, persatuan dan semangat masyarakat Jawa.
Slamet Raharjo, pelindung Yayasan Jenang Indonesia, mengatakan secara sosiologis jenang merupakan jenis kuliner yang lahir dari kreativitas masyarakat.
Jenang, lanjut Slamet, bebas dari atribut status sosial dan etnis alias bersifat demokratis, egaliter, spiritual dan religius.
Makanan itu hadir dalam banyak acara, misalnya selamatan untuk ibu hamil akan dilengkapi jenang procotan. Begitu pula ketika memberi nama kepada bayi setelah lahir maka dibuat jenang sepasaran.
Selamatan setelah hajat pernikahan dengan harapan agar pengantin dan seluruh panitia selalu sehat, mendapat berkah dan kekuatan, akan dilengkapi jenang sungsum.
17 macam jenang
Pada Festival Jenang Solo yang digelar dari tanggal 22--23 Februari 2014 ditampilkan 17 macam jenang yang mengiringi boyong Keraton Kartasura ke Keraton Kasunanan Surakarta. Ketua Yayasan Jenang Indonesia Heru Mataya yang juga sebagai Ketua Panitia Festival Jenang, mengatakan dari 17 macam jenang yang menghiasi pada festival tersebut semuanya mengandung makna bagi masyarakat Jawa khususnya orang Solo dan sekitarnya.
Heru Mataya menjelaskan makna dari masing-masing jenang. Jenang abrit petak mempunyai makna warna merah dan putih merepresentasikan penciptaan atau asal-usul manusia laki-laki dan perempuan.
Jenang saloko maknanya kesucian itu milik Allah. Manusia harus selalu mewaspadai nafsu "aku" pada dirinya, berani mengoreksinya diri sebagai jalan untuk bisa mengenal Allah.
Jenang manggul maknanya adalah manusia harus menjunjung tinggi kebaikan leluhur yang telah mewariskan segala pengetahuan.
Jenang suran maknanya waktu itu terbatas, manusia seharusnya ingat masa lalu dan memperbaiki masa depan.
Jenang timbul mempunyai makna harapan tidak selalu menjadi kenyataan. Manusia harus ingat Allah dan selalu berdoa untuk mewujudkan harapannya menjadi kenyataan.
Jenang grendul maknanya kehidupan itu seperti roda yang berputar, kadang di atas kadang di bawah.
Jenang sumsum maknanya pada diri manusia melekat sifat kelemahan dan kekuatan.
Jenang lahan maknanya agar melepaskan semua nafsu negatif, iri, dengki, sombong dan sebagainya di hadapan Allah.
Jenang pati maknanya melebur nafsu dan pasrah kepada Allah.
Jenang kolep maknanya manusia sebagai mahkluk sosial selalu dihadapkan pada perbedaan. Menghormati dan menghargai perbedaan menjadi nilai yang penting dalam kehidupan sehari-hari.
Jenang ngangrang maknanya manusia seharusnya belajar mengontrol emosi kemarahannya agar kekuatan pada dirinya bisa bermanfaat untuk sesama.
Jenang taming maknanya belajar menjaga kekuatan dengan berdoa kepada Allah dan mengenali serta memahami kelemahan diri sendiri.
Jenang lemu mawi sambel goreng maknanya manusia agar tak lemah membangun semangat baru dalam kehidupan.
Jenang koloh maknanya kesempurnaan adalah tujuan hakiki kehidupan manusia, yang sering dilalaikan dalam kesibukan sehari-hari.
Jenang katul maknanya kita hidup tak bisa berdiri sendiri karena selalu membutuhkan orang lain.
Jenang warni empat maknanya simbul nafsu yang melekat pada diri manusia. Warna merah simbol amarah. Putih menyimbolkan Muthamainah, kuning artinya aluamah dan hijau maknanya sufiyah (nafsu yang selalu ingin memiliki duniawi.
Festival jenang ini maka tidak hanya sekedar melestarikan jenang dan mengembangkan kuliner untuk menggerakan perekonomian, tetapi juga mendidik bangsa ini untuk hidup yang lebih baik lagi.