REPUBLIKA.CO.ID, Konon, daerah Laweyan di Solo sudah eksis dengan batiknya sejak Kerajaan Pajang berkuasa di Jawa Tengah pada pertengahan abad ke-16. Artinya, sejarah Kampung Laweyan lebih tua usianya dari Keraton Kasunanan.
Kiai Ageng Henis, kakek dari Panembahan Senopati, adalah orang yang mengajari penduduk setempat bagaimana cara membatik. Seni yang diajarkan kakek Sutawijaya yang kelak menjadi Panembahan Senopati ini masih terlihat jejaknya di Laweyan. Hingga kini, Laweyan tak bisa dilepaskan dari batik. Dan, batik tak bisa dilepaskan dari ikon Kota Solo. Kampung ini juga mengalami pasang surut dalam industri batik.
Asosiasi dagang pertama di Indonesia muncul di Laweyan. Sarekat Dagang Islam (SDI) didirikan KH Samanhudi pada 1912. SDI pun menjadi paguyuban yang menaungi produsen dan pedagang batik pribumi. Namun, Pemerintah Belanda tak senang dengan perkembangan organisasi ini. Sisa rumah KH Samanhudi yang hancur di bagian depan masih bisa ditemui di Laweyan. Masjid yang umurnya setua kampung ini juga masih bisa ditemukan. Di dalamnya terdapat makam Ki Ageng Henis.
Batik pernah membuat Laweyan mengalami era kejayaan hingga sebelum masa Orde Baru. Mesin tekstil modern kemudian mengikis kepopuleran batik yang dibuat secara tradisional. Industri di dalamnya lalu terkena imbasnya. Para pemetik kapas, pemintal benang secara manual, para pembatik, juragan batik satu per satu surut perannya.
Angin segar mulai berembus saat memasuki era 2000-an. Tren menggunakan batik di kalangan anak muda serta menguatnya identitas batik sebagai kebanggaan nusantara membuat Laweyan kembali bergairah.
Dari Balik Tembok
Kawasan Laweyan yang dilewati Jalan Dr Rajiman berada di poros Ke raton Kasunanan Surakarta, bekas Ke raton Mataram di Kartasura. Di balik jalan utama inilah rumah-rumah besar dengan tembok tinggi menjadi ciri juragan batik pada masa lampau.
Di balik tembok tinggi inilah ‘kerajaan-kerajaan’ kecil batik dulunya berjaya. Kini, kejayaan itu dihidupkan kembali. Konsep ‘rumahku galeriku’ diusung oleh Kampung Batik Laweyan. Rumah berfungsi sebagai tempat produksi batik sekaligus galeri pamer. Dan, siapa pun bisa menikmati berbelanja batik door to door seperti masa sebelum konsep mal berjaya.
Kampung batik terpadu ini memanfaatkan lahan seluas 24 hektare yang terdiri dari tiga blok utama. Ada beberapa jalan masuk ke dalam kompleks. Jangan khawatir tersesat karena di beberapa bagian terpampang peta nama setiap galeri batik. Jika malas berjalan kaki, bisa juga menyewa becak yang biasanya mangkal di mulut gang. Kalau terlihat celingukan, biasanya juga ada pemandu tidak resmi yang sigap mengantar. Biasanya pemandu dadakan ini menerima imbalan dari toko tertentu yang sudah bekerja sama dengan mereka.
Tapi, lebih puas rasanya kalau berkeliling sendiri. Mengintip toko demi toko dengan santai. Walaupun tidak semua galeri batik di sini punya kekhasan tersendiri, masih ada juga toko yang menyediakan batik produksi massal yang banyak dijual di pasar grosir.
Jangan dulu kecewa karena masih banyak rumah batik yang menawarkan koleksi unik dengan harga yang lebih murah dibandingkan butik di Jakarta. Para produsen batik di sini juga cukup tanggap dengan tren.
Mereka yang mengerti kain dan batik tak akan sulit menebak harga yang dibanderol. Meski sebagian besar toko biasanya sudah menetapkan harga, sedikit diskon dan bonus masih bisa didapatkan. Mana blus batik yang harganya di bawah Rp 100 ribu atau di atas Rp 1 juta, bisa didugaduga. Tak usah khawatir juga akan membayar terlalu mahal karena sebelumnya pengunjung bisa membandingkan harganya dengan toko sebelah.