REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Berburu barang bermerek tidak dilewatkan begitu saja oleh masyarakat berbagai negara di Inggris, termasuk oleh warga Indonesia yang menetap di London, pada 'Boxing Day', hari belanja sehari setelah Natal di Inggris, Kamis.
Suasana di megamal terkenal di London, Harrods setiap Boxing Day selalu mengadakan acara istimewa dengan karpet merah, dan dihadiri artis terkenal dunia atau pemain sulap ternama, ujar Chichi Bahrain di London.
"Saya lebih suka di Harrods pada hari pertama 'boxing day' karena pada hari ini kadang-kadang harga barangnya turun sampai 90 persen," ujar ibu dua anak yang telah lama menetap di London.
Chichi menuturkan pengalamannya pada Boxing Day yang merupakan hari penjualan terbesar di Inggris. Biasanya penjualan barang berlaku separuh harga dari harga normalnya.
Pada 'Boxing Day' ini hampir semua toko diserbu pengunjung, dan untuk masuk ke sebuah toko atau 'shopping centre' sejak pagi hari terjadi antrean panjang walaupun tetap dengan tertib dan aman.
Bahkan toko sudah ada yang buka pagi buta pada pukul enam pagi, sementara matahari terbit baru pukul delapan pagi.
"Kami sudah antre sejak subuh," ujar Dewi Taplin di Bristol pula.
Menurut Chichi, membayangkan mendapatkan tas bermerek dengan harga yang murah itu, akan mendorong setiap pengunjung saling serbu tas-tas bermerek yang disediakan di toko tersebut.
Begitu juga pada bagian penjualan parfum atau minyak wangi dengan segala merek yang harganya diobral sampai 50 persen dari harga normal.
Megamal terkemuka di London seperti Selfridges, Harvey Nichols, Jhon Lewis, Debenham, dan toko-toko terkenal lainnya di daerah Sloanne Street dan New Bond Street semuanya diserbu pengunjung.
Menurut kandidat PhD in Islamic Accounting University of Glasgow Murniati Mukhlisin, penulis Buku Sakinah Finance, 'Boxing Day' merupakan Hari Belanja Nasional bagi warga Indonesia yang tinggal di United Kingdom (UK) atau mungkin juga di banyak negara lain.
Bagi perencana keuangan keluarga syariah Murniati Mukhlisin, 'Boxing Day' merupakan acara khusus berbelanja yang harus disikapi dengan hati-hati.
"Tidak masalah kalau hari tersebut dijadikan event tahunan berbelanja, namun harus dipastikan bahwa keputusan apa yang dibeli tidak muncul secara tiba-tiba," ujarnya.
Menurut ibu dua putra dan satu putri ini, seringkali berbelanja tanpa rencana akan memaksa kita menggunakan kartu kredit yang ada atau menggunakan dana yang lebih besar, karena merasa diuntungkan ketika melihat potongan harga 50 hingga 70 persen.
Padahal seringkali barang yang diobral itu sudah tidak tren lagi, atau cuci gudang usai Natalan.
Jadi bukanlah suatu hal yang harus dikejar-kejar, karena hal itu juga biasa dilakukan di hari-hari selain 'boxing day', ujar Murniati lagi.
Menurut dia, pembeli juga harus pintar dan cermat, karena barang yang dijual dengan diskon besar-besaran itu tidak semuanya berkualitas baik. Kondisi keuangan (cashflow) keluarga juga harus diwaspadai dengan banyak acara belanja yang menggoda mata ini, ujarnya pula.
Seringkali keuangan keluarga akan terganggu karena ada musim obral seperti ini, sehingga menyebabkan minat untuk membeli semakin menggebu-gebu (impulsive shopping), karena melihat antrean yang panjang atau barang yang diimpikan sedang didiskon.
Ketua Diaspora Indonesia di Inggris, Cathy Paat yang bekerja di salah satu toko retail terkemuka di London, mengakui sudah lama ia tidak ikutan berburu belanja saat 'boxing day' itu.
Setelah bertahun-tahun bekerja di retail kebanyakan barang yang dijual adalah barang sisa yang sudah tidak terjual dan tidak ada yang bagus-bagus lagi, serta konsumen juga harus siap bersaing dan berebutan dengan sesama pembeli.
"Berantem sesama konsumen sehabis antre lama saat mau membayar, pas sampai di kasir marah-marah karena lama dan harganya ternyata tidak sesuai dengan kemauan," ujarnya.
'Boxing Day' sebagai Hari Belanja Nasional memang dimanfaatkan oleh seluruh toko dan megamal di Inggris untuk meningkatkan penjualan mereka di tengah kelesuan ekonomi di Inggris.