REPUBLIKA.CO.ID, Salah satu keluarga ahli waris Rumah Tua Tan Malaka, Indra Ibnur Ikatama mengatakan rumah Tan Malaka terakhir kali dihuni pada 1998. Tujuh tahun berikutnya, keluarga besar pemegang sako Tan Malaka akhirnya memutuskan untuk menjadikan rumah ini sebagai museum kecil yang dibuka untuk umum.
“Sayangnya, sampai sekarang, tempat ini seakan-akan luput dari perhatian pemerintah daerah di sini,” kata Indra.
Indra mengisahkan, Tan Malaka mendiami rumah ini sampai ia menamatkan pendidikan sekolah rendahnya di Suliki pada 1908. Masa kecil sang penggagas republik itu tak jauh berbeda dengan anak-anak di zamannya.
“Kegiatan sehari-hari diisi dengan menimba ilmu agama di surau, bermain dengan teman-teman sebaya, juga belajar pencak silat,” paparnya.
Setamatnya dari Kweekschool (Sekolah Raja) Bukittinggi pada 1913, pendiri Partai Murba ini melanjutkan pendidikannya ke Rijks Kweekschool di Haarlem Belanda. Sejak itu, Tan Malaka hampir tak pernah lagi pulang ke Pandam Gadang, kampung halamannya.Lebih dari separuh hidup Tan Malaka dihabiskan dengan merantau.
Bahkan, ia harus berpindah-pindah dari satu negara ke negara lainnya, lantaran memperjuangkan cita-citanya meraih kemerdekaan Indonesia. Berbagai buah pemikiran Tan Malaka yang revolusioner menyebabkan dirinya menjadi buronan para interpol (polisi internasional) dan pemerintah kolonial di masa itu.
Jalan hidup Tan Malaka yang rumit ini pula yang kemudian menginspirasi Hasbullah Parinduri alias Matu Mona, menulis karya roman berjudul Patjar Merah Indonesia. Cerita yang diperoleh Indra dari penuturan ibunya, Nurnia (almarhumah) menyebutkan, sekembalinya dari Belanda, Tan Malaka hanya dua kali menginjakkan kakinya di rumah ini.
Kepulangan Tan Malaka yang pertama terjadi sekitar 1942-1945. Ia yang kala itu menjadi buronan Jepang, melakukan penyamaran hingga berhasil sampai ke Payakumbuh. Tan Malaka lalu menyempatkan diri ke Pandam Gadang buat menjenguk ibundanya yang kala itu sudah berusia renta.
Beberapa waktu berikutnya, Tan Malaka datang lagi ke rumah ini bersama Prijono, yang di kemudian hari menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI periode 1959-1966.Meski kini menyandang status sebagai museum, kondisi rumah tua Tan Malaka ini bisa dibilang tak terawat.
Harry A Poeze, peneliti Belanda yang mencurahkan sebagian besar hidupnya untuk menggali fakta sejarah seputar Tan Malaka, pernah mengemukakan niatnya untuk memugar rumah tua ini dengan biaya pribadinya.
Anehnya, kata Indra, rencana itu ditolak oleh pemerintah. Alasan mereka, hal itu dapat dinilai sebagai bentuk intervensi pihak asing terhadap penggalian sejarah Indonesia.