REPUBLIKA.CO.ID, Jika ada yang menanyakan jalan apa yang paling panjang di Sumatra Barat, kemungkinan besar jawabannya adalah Jl Tan Malaka. Jalan yang menghubungkan Kota Payakumbuh dan Kototinggi (Kabupaten 50 Koto) ini membentang sejauh hampir 50 km.
Jalan provinsi ini ternyata tidak sekadar menyandang nama besar pahlawan tersebut, tapi juga bakal mengarahkan kita menuju kampung halaman Tan Malaka. Untuk sampai ke sana, Anda bisa menggunakan angkutan umum, ojek, atau kendaraan lainnya dari Payakumbuh.
Beberapa bulan lalu, di kala musim penghujan, ROL sengaja berkunjung ke tempat kelahiran sang pemikir yang terkenal dengan karya Madilog-nya itu. Sebuah rumah tua di pelosok Nagari Pandam Gadang, Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten 50 Koto.
Di tempat itulah Tan Malaka menghabiskan masa kecilnya, sebelum akhirnya hijrah ke Bukittinggi dan melanglang buana ke berbagai negara. Bangunan bergaya arsitektur tradisional Minangkabau itu tampak soliter alias ‘menyendiri’ dari permukiman penduduk lainnya.
Dinding depannya terbuat dari papan, sedangkan dinding sampingnya terdiri dari anyaman bambu. Atapnya mempunyai lima buah gonjong, yang menjadi salah satu ciri khas rumah gadang di Luhak 50 Koto. Sejumlah petak sawah diselingi pohon-pohon nyiur menghampar di depannya.
ROL menjejakkan kaki di atas lantai ruangan pertama rumah gadang itu. Hanya sebuah potret usang berukuran besar yang menggantung di dinding yang menyambut kedatangan ROL. Foto hitam putih berbingkai kayu itu memperlihatkan seorang lelaki gagah yang dulu pernah saya lihat di dalam buku bacaan semasa kuliah.
Dialah Ibrahim yang bergelar Datuak Tan Malaka. ROL terus melangkahkan kaki ke ruangan berikutnya. Kali ini, ada lebih banyak lagi foto Tan Malaka yang dipajang. Foto-foto tersebut menampilkan sosok pahlawan itu dalam berbagai pose. Di salah satu sisi ruangan, terdapat etalase berisi buku-buku yang berhubungan dengan tokoh legendaris itu.
Ada Madilog, Dari Penjara ke Penjara, serta beberapa karya dari akademisi seperti Harry A Poeze, Asvi Warman Adam, Mestika Zed, dan masih banyak lagi. Cahaya mentari yang masuk lewat jendela menerangi bermacam-macam perabot di dalam rumah kayu ini. Beberapa di antaranya berupa tempat tidur kuno bergaya klasik, sederet talempong (alat musik tradisional khas Minangkabau), dan sofa ala kadarnya.
Bagian dinding ruangan ini terdapat pula peta silsilah pemegang gelar sako Tan Malaka dari generasi pertama sampai sekarang. Perlu diketahui, gelar sako adalah gelar pemimpin adat atau kaum di Minangkabau yang diwariskan secara turun-temurun menurut ranji yang berdasarkan sistem matrilineal.
Dengan kata lain, nama “Tan Malaka” yang masyhur itu sebenarnya adalah gelar adat yang melekat pada diri Ibrahim, nama kecil pejuang kemerdekaan tersebut.
Bersambung ke bagian 2..