REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Arif Satria (Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB)
Follow : @arif_satria
Saya menonton film Minggu Pagi di Victoria Park setahun yang lalu. Film tersebut mengisahkan kehidupan para tenaga kerja Indonesia (TKI) di Hongkong. Tergambar sudah pernak pernik kehidupan TKI yang diperankan Lola Amaria dan Donny Damara. Namun pada 23 Juni 2013, saya benar-benar merasakan Minggu pagi di Victoria Park.
Di halte bus kawasan Kennedy Town, saya bertanya kepada dua orang TKI yang berdiri di sebelah saya, bus nomor berapa untuk jurusan Victoria Park? Spontan Tari dan Keke- dua TKI tersebut- menjawab dengan semangat bahwa mereka pun akan kesana, dengan bahasa Jawa yang kental. Rupanya hari Sabtu-Minggu merupakan ritual para TKI untuk berkumpul di Victoria Park.
Ribuan TKI berkumpul disana. Mereka berkelompok dalam ragam aktivitas. Ada sekelompok latihan menari. Ada lagi puluhan orang berseragam baju pencak silat berlatih. Ada lagi sekedar bernyanyi. Ada pula berjualan masakan Indonesia. Ada juga mengaji. Ada pula bisnis kartu telepon, pakaian, bahkan tempat itu pun ramai dibuat tempat pacaran. Disinipun aktivitas “politik” tak ketinggalan. Mereka aktif di grup aneka social media yang mereka buat. Mereka gaul, tidak gagap teknologi, dan tidak kuper seperti yang dibayangkan. Aneka gadget terbaru ada di tangan mereka.
Seolah Victoria Park sudah milik TKI. Lebih dari itu, ternyata Victoria Park pun sudah milik Jawa. Ia sudah seperti Alun-Alun di Pekalongan, karena hampir semua orang berbahasa Jawa. Jangan-jangan Jawa menjadi bahasa kedua setelah Kanton.
Apalagi setelah menyeberang dari Victoria Park akan ketemu kawasan Coast Way Bay, sebuah kawasan perbelanjaan, setiap detik bisa terdengar percakapan bahasa Jawa para TKI. Dan terlihat pula ragam TKI dalam berbusana: dari yang lengkap hingga yang “minimum”. Sulitlah bagi kita untuk tersesat di kawasan itu, karena TKI ada dimana-mana dan siap membantu memberi info jalan.
“Politik” TKI tercermin dari hadirnya Asosiasi Buruh Migran Indonesia (ATKI) yang berperan penting dalam membantu memperjuangkan nasib TKI di Hongkong. Perjuangan peningkatan gaji, menyelesaikan masalah para TKI dengan majikan, perusahaan penyalur atau pemerintah Hongkong, serta membangun soliditas TKI merupakan sepak terjangnya. Kaos yang dipakai Keke bertuliskan “Perempuan Bangkit Melawan Penindasan” ternyata merupakan seragam untuk membangun kesadaran kelaspekerja migran di Hongkong. Banyak TKI datang kesana dengan seragam tersebut.
Mereka belajar dari pengalaman TKI di Arab Saudi dan Malaysia yang masih banyak masalah marjinalisasi kaum perempuan. Bagi mereka Hongkong relatif lebih baik. Paling tidak seminggu sekali ada cuti bagi para TKI sehingga memungkinkan menjalankan ritual berkumpul di Victoria Park. Nampak rasa kegembiraan luar biasa saat mereka berkumpul. Bagi mereka berkumpul adalah konsekuensi dari upaya bertahan hidup di tanah negeri orang, yang memang memerlukan solidaritas dan jaringan sosial yang kuat.
Lalu apa agenda mereka setelah selesai kontrak? Sejenak minggu pagi di Victoria Park ini telah memaksa saya menjawab pertanyaan tersebut dengan pertanyaan baru : bagaimana membuat mereka harus bisa lebih sejahtera di negeri sendiri ?
Hongkong, 23 Juni 2013