Senin 17 Jun 2013 00:59 WIB

Ternyata Penemu Fosil Pithecanthropus Orang Indonesia

Penemuan fosil Pithecanthropus (Ilustrasi)
Foto: panoramio
Penemuan fosil Pithecanthropus (Ilustrasi)

Oleh Erik Purnama Putra/Reporter Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Sangiran diakui sebagai tempat kehidupan peradaban yang dimulai sejak 2 juta hingga 200 ribu tahun lalu. Sayangnya, perubahan iklim yang ditandai berubahnya lingkungan secara drastis dari lembab menjadi kering membuat penghuni Sangiran menyebar ke wilayah dengan pasokan air melimpah.

Kepala Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran (BPSMPS) Harry Widianto menjelaskan, perubahannya iklim di Sangiran sangat drastis. Diawali dengan lingkungan laut dalam, laut dangkal, hingga rawa-rawa pada 1 juta tahun lalu.

Kemudian, Sangiran berganti menjadi kawasan hutan terbuka kira-kira pada 500 ribu tahun lalu, hingga memasuki era stepa yang dianggap sebagai mulainya peradaban manusia modern.

Pada fase tanah kering yang ditumbuhi semak belukar ini, manusia purba mulai menyebar karena menganggap Sangiran tidak lagi sebagai tanah ideal untuk dijadikan tempat tinggal. Ditemukannya fosil yang dinamakan Pithecanthropus Erectus yang diperkirakan hidup pada 500 hingga 300 ribu tahun lalu menjadi penandanya.

Penemunya adalah dokter Belanda, Eugene Dubois yang menggali sebuah situs di bibir Sungai Bengawan Solo di Kabupaten Ngawi pada 1891. Lokasinya terletak di Dusun Pilang, Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar, sekitar 14 km ke arah barat dari pusat kota Ngawi.

Aktivitas penggalian yang membuahkan hasil dengan temuan sepotong kerangka rahang atau geraham manusia purba. Hal itu membuka tabir adanya peradaban purba di Trinil.

Di saat bersamaan, tidak lagi ditemukan fosil manusia purba di Sangiran. “Ini lantaran manusia purba modern mulai menyebar mencari daerah yang dekat dengan air setelah di Sangiran mengalami pergantian iklim,” kata Harry.

Di Trinil pula, missing link Teori Evolusi yang dicetuskan ilmuwan Inggris Charles Darwin menemukan jawaban. Dubois sukses melengkapi proses evolusi manusia primata hingga menjadi manusia modern lewat penemuan manusia purba yang memiliki otak 900 cc tersebut. Kapasitas otak itu berada antara manusia (1.300 cc) dan primata (450 cc).

Menuju Trinil

Saya naik bus jurusan Surabaya dari Solo dengan tarif Rp 20 ribu untuk mencapai Museum Trinil. Kalau tidak tahu persis lokasinya, lebih baik turun di Terminal Ngawi baru. Terdapat gapura berornamen susunan batu batu bata menyerupai candi sebagai tanda lokasi Museum Trinil.

Dari tepi jalan, masih diperlukan 3 km untuk masuk ke dalam. Karena tidak ada transportasi umum, menggunakan ojek untuk mencapai ke sana merupakan pilihan satu-satunya.

Museum Trinil dibangun pada 20 November 1991 untuk mengenang 100 tahun penemuan Dubois. Letak museum persis di bibir Sungai Bengawan Solo. Tidak seperti Museum Sangiran, koleksi Museum Trinil sangat terbatas. Kondisi bangunannya pun sangat kontras.

Memasuki museum yang bangunannya terlihat lusuh ini, kita bakal melihat tiga gedung dan pendapa yang terkesan kurang terawat yang ternyata menyimpan nilai sejarah sangat besar. Memang sejak awal dibangun, museum ini tidak pernah lagi direnovasi dan sepertinya kurang diperhatikan pemerintah.

Di halaman museum menjorok ke tepi sungai, berdiri sebuah tugu kecil yang dibangun pada 1895. Ternyata, tugu itu merupakan peninggalan Dubois sebagai penanda lokasi penemuan fosil Pithecanthropus Erectus untuk pertama kalinya. Jarak tugu dengan lokasi penggalian sejauh 175 meter.

“Dulu lokasinya di tepi sungai, tapi karena mengalami erosi, lokasi penggalian sekarang berada di tengah sungai Bengawan Solo,” kata juru pelestari Museum Trinil, Sudjono.

Kalau ingin mencapai tempat penggalian Dubois, kita harus menyeberangi sungai selebar 10 meter itu. Pada musim hujan seperti sekarang, tanda sisa penggalian tertutup aliran sungai. Berbeda ketika musim kemarau saat aliran surut, kita bisa melihatnya.

Di kantor pengelola Museum Trinil, dipajang empat foto aktivitas penggalian situs pada 1890-an. Dengan mengerahkan puluhan tahanan pribumi untuk dipekerjakan, ia bisa menemukan berbagai fosil di dalam lapisan tanah sedalam hingga 10 meter. Dubois sangat teliti dalam melakukan penelitian dengan menandai setiap lapisan tanah di tepi Sungai Bengawan Solo.

Sudjono menerangkan, Dubois bisa sampai ke Trinil bukan tanpa kesengajaan. Setelah gagal melakukan penggalian di Sumatra, ia beruntung secaa tiba-tiba mendengar adanya warga yang menemukan tulang-belulang di tepi sungai. Kedatangannya itu lantaran menerima informasi bahwa Raden Saleh memiliki beragam koleksi fosil yang didapat dari masyarakat di sekitaran Ngawi.

Kebetulan, Raden Saleh yang seorang pelukis andal tersebut pernah mengenyam pendidikan di Negeri Kincir Angin itu sehingga kabar penemuan fosil itu sampai juga ke telinga Dubois. Barang bukti yang didapat Dubois dijadikan sebagai petunjuk penggalian di Trinil.

Ini lantaran pemilik nama lengkap Raden Saleh Sjarif Boestaman itu tidak memiliki minat di bidang arkeologi. Sehingga, kurang tepat juga kalau dikatakan pria yang bekerja sebagai militer Belanda itu yang menemukan fosil di Trinil. 

“Jadi, Dubois ke sini karena informasinya berasal dari Raden Saleh," kata Sudjono. Dapat dikatakan, orang pribumi yang sebenarnya menemukan fosil pertama kalinya.

Fosil binatang purba

Patung Stegodon berdiri di samping kanan pintu masuk kompleks Museum Trinil. Spesies gajah purba dengan dua gading panjang yang didirikan sesuai dengan ukuran aslinya ini dianggap ikon museum. Ihwal menjadikan gajah sebagai ikon Trinil lantaran fosil binatang purba ini paling banyak ditemukan di sekitaran Bengawan Solo.

Juru pelestari Sudjono mengatakan, Stegodon banyak hidup di sekitaran Trinil karena daerahnya banyak tersedia air. Hampir semua bagian tulang gajah ditemukan, meski tidak dalam kondisi baik.

Di museum, dipajang gading gajah purba yang hanya terlihat retak sedikit berukuran 5 meter. Tidak ketinggalan fosil gigi geraham, dan dua kerangka kepala gajah berwarna terang dan gelap juga ditemukan.

Sudjono menjelaskan, fosil berwarna agak gelap disebabkan ketika tertimbun dalam tanah terkena rembesan air sehingga warnanya tidak terang lagi. Untuk yang tulang yang terlihat terang sebagaimana warna fosil pada umumnya, biasanya terkubur debu vulkanik dan aman dari rembesan air.

Selain gajah, ada fosil tulang rahang bawah macan, tanduk kerbau, tanduk banteng, dan tempurung kura-kura yang dipajang. Sayangnya, sebagian fosil yang dipajang merupakan replika, karena yang asli dibawa Dubois ke tanah kelahirannya, dan kini disimpan di Museum Leiden.

Uniknya, Sudjono melanjutkan, ditemukan pula empat fosil kerang berukuran besar yang mengendap di lapisan tanah yang mengandung sedimen kapur. Mengacu penemuan itu, jelas menandakan kawasan Kabupaten Ngawi dulunya berupa lautan.

Begitu pula, alur Sungai Bengawan Solo yang mengalir dari selatan ke utara, dulunya berhilir di selatan dan menuju laut Jawa di utara. Namun karena di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa mengalami pergeseran tanah hingga terangkat menjadi pegunungan, aliran sungai berbalik arah mengalir arah utara. Tidak heran, hampir sepanjang selatan Pulau Jawa berupa bukit tinggi, dan di bagian utara dataran rendah.

“Mengacu penemuan kerang, memang dulunya di sekitaran Trinil ini juga merupakan wilayah laut,” katanya menjelaskan. "Teorinya memang begitu, karena tidak mungkin kerang tak hidup di laut."

Di Museum Trinil juga terdapat peninggalan empat bola batu berdiameter 8-9 cm. Bola batu ini digunakan sebagai senjata berburu manusia purba dengan cara melemparkannya ke mangsa buruan menggunakan tali.

Batu hasil buatan tangan manusia purba lainnya adalah serpih, bilah, serut, dan kapak perimbas yang digunakan sebagai sarana berburu dan meramu. "Manusia purba modern yang ditemukan di Trinil ketika melakukan perburuan dilakukan bersama dengan keluarga besarnya," katanya.

Twitter: @erik_purnama

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement