Oleh Erik Purnama Putra
REPUBLIKA.CO.ID, Pada era penjajahan Belanda, Kota Malang mendapat julukan sebagai Paris van East Java. Julukan tersebut tidak mengada-ada.
Malang sangat layak dilabeli seperti itu bila mengacu tata kota dan lanskap, serta sebaran arsitektur rumah peninggalan pemerintah kolonial,
Tidak seperti daerah lain, kondisi bangunan kuno di Malang cukup terjaga dengan baik, meski sebagian berganti fungsi. Salah satu buktinya dapat kita temukan ketika menyusuri Jalan Ijen.
Sebagian rumah oleh pemiliknya memang dibongkar dan dibangun kembali dengan gaya modern, namun masih banyak rumah asli peninggalan Belanda yang terawat.
Keindahan kawasan boulevard ini terletak pada luasnya jalur hijau di kiri kanan jalan. Di kanan kiri jalan sepanjang 1 km ini ditumbuhi pohon palem raja berusia puluhan tahun nan meneduhkan.
Ditambah taman selebar empat meter yang ditumbuhi berbagai jenis bunga yang membelah jalan membuat suasana hijau tampak terasa. Trotoar yang lebar semakin membuat nyaman pejalan kaki saat menyusuri daerah ini.
Jalan ini dirancang oleh Ir Herman Thomas Karsten pada 1914. Dulunya, warga bisa melihat empat gunung yang mengapit Kota Malang. Gunung Arjuno di sebelah utara, Semeru di timur, Kawi dan Panderman di barat, dan Kelud di selatan.
Di Jalan Ijen pula, festival tahunan Malang Tempo Doeloe dihelat. Setiap Ahad, Pemkot Malang menjadikan jalan ini terlarang bagi kendaraan bermotor.
Melihat posisi pentingnya kawasan ini, tidak salah Jalan Ijen disebut sebagai landmark Kota Malang. “Sejak awal, Jalan Ijen memang diperuntukkan untuk kawasan elite dengan susunan rumah yang dirancang model vila,” kata pelestari sejarah Kota Malang, Hery Kurniawan.
Sayangnya, di ujung utara Jalan Ijen, tepatnya di kawasan Simpang Lima, terjadi perubahan fungsi jalan. Menurut Hery, pada zaman Belanda, tempat itu dulunya digunakan sebagai pacuan kuda.
Sayangnya, warisan tempat bersejarah itu tidak dilestarikan dan sekarang dijadikan jalan umum. Hal itu jelas sangat disayangkan, mengingat penghilangan jejak bersejarah hanya membuat masyarakat sekarang awam terhadap sejarah dulu.
Ditambah pemugaran rumah seenaknya dan tidak mengindahkan estetika membuat keindahan Jalan Ijen cukup terganggu. Alhasil, keindahan Kota Malang yang mendapat julukan mirip Kota Paris mulai terkikis lenyap tidak berbekas.
“Padahal, kata orang-orang tua, setelah Perang Dunia kedua, pemandangan Jalan Ijen ini lebih bagus daripada Kota Berlin,” sebutnya.
Karena itu, ia balik bertanya, apakah kemajuan yang dicapai Pemkot Malang sekarang ini sebenarnya dapat dikategorikan majunya sebuah peradaban atau malah kemunduran akibat hilangnya warisan bangunan bersejarah. “Pertanyaan ini yang harus dijawab.”
Siang itu, saya menyusuri Jalan Ijen yang cukup ramai, tapi terdengar tidak bising. Pohon dan taman sepertinya cukup mampu meredam hilir mudik kendaraan yang lewat.
Tepat berada di tengah dan poros jalan, berdiri Monumen Melati Kadet Suropati. Tugu setinggi 7 meter ini ditandai mekarnya bunga melati yang disangga dua pilar dengan taman dan kolam di bawahnya.
Monumen ini didirikan sebagai bentuk penghargaan terhadap sekolah darurat awal pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (cikal bakal TNI) di Malang pada 1946.
Sekolah Tentara Divisi VIII yang berganti nama menjadi Sekolah Tentara Divisi VII Suropati dengan simbol melati ini lebih dikenal dengan nama sekolah Kadet Malang. Sayangnya, ulah orang iseng yang melakukan aksi vandal membuat nilai sejarah monumen menjadi terganggu.