Oleh Erik Purnama Putra
REPUBLIKA.CO.ID, Gemericik aliran sungai dan kicauan burung menyambut kedatangan saya dan fotografer Rakhmawati di situs Candi Sumberawan.
Letak Candi Sumberawan di kaki Gunung Arjuna memang mengundang suasana sejuk pedesaan. Candi yang terletak tepat di Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang itu pun menanti kami.
Butuh perjalanan waktu sejam dari pusat kota ke arah utara dengan menggunakan sepeda motor untuk mencapai lokasi.
Area situs berada jauh dari permukiman penduduk. Di sekelilingnya ditumbuhi berbagai pepohonan dengan tinggi belasan meter.
Pinus berdiri tegak bersanding dengan cemara di sisi timur dan utara yang menghasilkan suara khas ketika angin bertiup kencang. Adapun di sisi barat, beringin dengan akar menjuntai ke tanah tampak memayungi candi peninggalan Kerajaan Majapahit itu.
Berjarak 15 meter, terdapat sumber mata air yang mengalir deras membentuk sungai kecil jernih. Ikan memenuhi sepanjang aliran sungai. Suasana benar-benar jauh dari kebisingan dan tenang.
Saya memilih merebahkan diri lebih dulu di rumput persis di depan candi beraliran Budha itu. Ditambah semilir angin yang berembus membuat hati terasa teduh.
Berdasarkan keterangan juru pelestari, penyebutan candi kurang tepat kalau melihat fungsi situs yang hanya dijadikan sebagai tempat meditasi dan bangunannya lebih mirip stupa berukuran besar.
Karena tidak ada bukti prasasti, Candi Sumberawan diperkirakan dibangun pada abad ke-14 dan 15 masehi. “Tapi, candi ini merupakan satu-satunya situs beraliran Budha di Jawa Timur,” kata wanita dengan mimik wajah serius itu.
Mengacu prasasti Negarakertagama, Candi Sumberawan diidentifikasi sebagai Kasurangganan atau Taman Surga Nimfa. Petunjuknya, komplek tersebut pernah disinggahi Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit pada 1359.
Raja yang membawa Majapahit ke puncak kejayaannya itu menyempatkan singgah dalam perjalanannya keliling daerah yang menjadi kekuasaannya.
Karena fungsinya sebagai tempat bertapa, pantas saja bangunan candi yang ditemukan pemerintah Belanda pada 1845 dekat sebuah telaga ini sangat polos. Tidak ditemukan satu pun relief.
Di sebelah utara candi, terdapat reruntuhan batu andesit yang diperkirakan dulu berupa stupa pendamping yang ukurannya lebih kecil dari stupa utama.
Kekurangannya, bagian atas candi tidak utuh sehingga atapnya terbuka. Bangunan yang ada sekarang merupakan hasil renovasi darurat pada 1937. Karena letaknya yang dikelilingi areal persawahan dan perbukitan, membuat situs ini sangat pas dijadikan tempat meditasi yang jauh dari kebisingan.