REPUBLIKA.CO.ID,Pesawat GA 884 mulus mendarat di Narita, Tokyo. Alunan orkestrasi lagu rasa sayange aransemen Addie MS pun mulai diputar. Saat pesawat berhenti sempurna, ternyata di sebelah pesawat Garuda juga ada Garuda. Ada dua pesawat Garuda Indonesia yang mendarat di Narita, satu dari Jakarta dan satunya dari Denpasar. Rasa bangga pun muncul; di tengah hiruk-pikuk Narita ternyata ada dua Garuda. Ini suasana yang tidak ditemukan di JFK New York, dan beberapa airport di Eropa. Disana kita hanya seolah bermimpi kapan maskapai penerbangan nasional kita terbang dan mendarat. Orang Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam boleh bangga ketika maskapainya ada dimana-mana.
Kini bendera tidak lagi semata kain warna merah putih yang berkibar. Kini bendera telah berbentuk aneka rupa. Pesawat tidak lagi sekedar sarana transportasi. Musik, tarian, dan film tidak lagi sekedar untuk dinikmati. Makanan tidak sekedar untuk dimakan. Ternyata semua itu bisa menjelma menjadi “bendera”. Garuda adalah “bendera”. Karya seni juga “bendera”. Kuliner pun bisa menjadi “bendera”.
Bendera adalah identitas. Kini dunia telah menjadi arena unjuk identitas. Kebanggaan kita karena Garuda mendarat dimana-mana sama dengan bangganya orang Korea melihat Gangnam Style sangat eksis di Indonesia. Penetrasi Korea ke dalam budaya pop dunia telah menggeser peran Barat. Jepang sendiri telah menjadi pasar empuk bagi industri musik dan film Korea. Hingga suatu saat Perdana Menteri Jepang dan Presiden Korea Selatan bertemu di Tokyo dan salah satu topik yang dibicarakan adalah Film Winter Sonata, film Korea yang sangat populer di Jepang, dan diputar setiap musim dingin. Sampai-sampai lokasi syuting film tersebut kini dijadikan obyek wisata. Bagaimana dengan kita? Adakah seni budaya kita yang mampu menjadi “bendera”?
Tentu merah putih harus terus berkibar. Namun, aneka “bendera” wujud lain pun harus terus berkibar. Tidak lagi dengan tali dan tiang bendera, tetapi dengan tali kreativitas dan inovasi, serta tiang nasionalisme. Makin kreatif dan inovatif akan membuka kita pada pintu sejarah baru. Kita lah yang harus membuka pintu itu dan lalu menjaga “bendera” kita terus berkibar.Berkibar di dunia, bukan hanya di tanah air, kalau kita tidak ingin disebut sebagai jago kandang.
Tokyo, 8 Mei 2013
Oleh: Arif Satria (Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB
Follow: @arif_satria