Selasa 23 Apr 2013 19:56 WIB

Kian Jarang, Gerobak Sapi di Yogya Digemari untuk Rekreasi

Rep: Heri Purwata/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Gerobak Sapi (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO
Gerobak Sapi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Gerobak yang ditarik dua ekor sapi saat ini makin sulit di jumpai. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pun hanya terdapat puluhan gerobak tersisa. Jumlah itu digabung dengan Jawa Tengah, maka ada sekitar 950 gerobak

Meski demikian, pemilik gerobak tak patah arang. Mereka di Yogya bahkan membentuk perkumpulan yang diberi nama "Langgeng Sehati" yang diketuai langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Salah satu anggotanya adalah Haji Latif Munir (40) warga Jejeran, Wonokromo, Kabupaten Bantul, DIY. Gerobak milinya adalah peninggalan dari orang tua, Mashud. 

Ketika masih jaya, gerobak sapi ini sebagai alat transportasi yang sangat dibutuhkan masyarakat. Kini gerobak ini tidak lagi sebagai alat transportasi untuk mengangkut material bahan bangunan, atau hasil panenan di sawah karena kalah dengan truk buatan Jepang.

Uniknya fungsi gerobag sapi sudah berubah menjadi alat transportasi yang menekankan pada rekreasi. Seperti membawa pengantin, anak yang disunat, hajatan dan membawa turis untuk keliling desa wisata.

"Kalau tidak ada order gerobag nganggur di rumah," kata Munir di sela-sela mengangkut pengantin di Kantor Urusan Agama (KUA) Sewon, Bantul, DIY, Senin (22/4).

Munir yang juga anggota polisi Polsek Piyungan Bantul ini mengaku senang merawat gerobak peninggalan orangtuanya. Ia meyakini gerobak mempunyai nilai budaya yang sangat tinggi.

Saat dihitung gerobak, plus dua ekor sapi, genta enam buah dan asesoris lain bisa bernilai 80 juta rupiah. Maklum dua sapi saja sudah berharga Rp 47 juta.

Moda Rekreasi

Saat gerobak sapi kian jarang, situasi itu memberi keuntungan tersendiri bagi anggota polisi berpangkat Bripka ini. "Setiap pekan, pasti ada dua atau tiga yang menggunakan gerobag saya untuk hajatan. Saya tidak memasang tarif, diberi Rp 100 atau 200 ribu saya tidak protes," kata Munir bapak satu putri ini.

Penghasilan yang paling besar ketika membawa turis keliling desa wisata. Ia mendapat bayaran Rp 700 ribu.

Meskipun setiap hari menggunakan sepatu dalam bekerja sebagai polisi, namun ketika sebagai pilot gerobak--dijuluki bajingan-- dirinya tidak mengenakan alas kaki. "Ya biar lebih lincah dibanding dengan menggunakan alas kaki. Bajunya pun  hitam dan harus mengenakan iket blangkon," katanya.

Soal julukan bajingan, Munir tidak merasa terganggu. Alasannya kata itu memiliki kepanjangan  banguning jiwo ngen-ngen pangeran (bangunnya jiwa selalu ingat kepada Allah SWT) agar selamat dalam perjalanan.

"Kalau yang tidak tahu akan marah dipanggil Bajingan. Tetapi dengan arti seperti itu kata bajingan itu sebetulnya maknanya baik," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement