REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Garin Nugroho memilih setia di jalur tontonan serius dan ingin menjadi bagian dari upaya untuk menyuguhkan pertunjukan-pertunjukan yang tidak hanya menghibur, tapi juga mengajak penikmatnya berpikir dan merenung.
Sutradara produktif yang mendapat banyak penghargaan internasional untuk karya-karya seperti film "Bulan tertusuk Ilalang", "Daun di Atas Bantal" dan "Puisi Tak Terkuburkan" itu, tidak melakukan semuanya demi pasar karena menganggap tontonan bukan hanya hiburan, tapi juga cerminan dari perilaku hidup suatu bangsa.
"Kalau tidak ada konsep yang bagus, kelas menengah kita akan menjadi kelas menengah yang konsumtif dan dangkal. Kalau tontonannya yang sekedar lucu dan olok-olok seks terus, lama-lama kelas menengah kita kalah dengan kelas menengah negara lain seperti Singapura atau Thailand," katanya.
"Kalau kita tontonan kalah, tontonan itu kan mengandung selera kehidupan," kata Garin, yang juga aktif mengamati perkembangan sosial budaya negeri ini, sebelum pementasan "Opera Jawa : Selendang Merah" di Solo, Sabtu malam.
Dasar pemikiran seperti itulah yang antara lain mendorong Garin menghasilkan karya-karya kontemporer berbasis tradisi yang serius seperti film "Opera Jawa" dan trilogi pertunjukan Opera Jawa, "Ranjang Besi", "Tusuk Konde" dan "Selendang Merah."
Ia sadar, karya-karya seriusnya yang kompetitif di luar negeri belum bisa menarik banyak penonton di dalam negeri namun ia merasa harus tetap berada pada jalurnya untuk ikut membangun budaya yang berakar pada tradisi warisan, termasuk dramaturgi lokal.
"Penari-penari yang cantik dan tinggi di Indonesia memang laku... teater kayak gitu harus didukung karena ikut membangun kelas menengah. Tapi yang seperti ini, yang penyanyinya tidak cuantik, ngguantheng (ganteng), dan tingginya sama, tapi ada esensi pertunjukannya, juga harus dihargai," katanya.