REPUBLIKA.CO.ID, Kisah penyanderaan menegangkan dalam Argo karya Ben Affleck boleh saja menyabet Oscar pada ajang Academy Award. Hanya saja penggambaran Iran 1979 sebagai sarang mendidih anti-Amerika sangat kontras dengan situasi aslinya. Paling tidak begitu bunyi pandangan sejumlah petualang asal Amerika Serikat.
Muncul pengakuan mereka justru mendapat pengalaman di luar dugaan. Ada rasa keingintahuan yang besar dan keramahan orang Iran saat menyambut sejumlah turis Amerika Serikat, tipe pelancong nekat yang mau melanggar travel warning dan mengabaikan konflik sengit antarpemerintah.
"Warga Amerika menyadari ternyata begitu banyak hal terkait pemerintah Iran yang dilebih-lebihkan dengan keterlaluan," ujar Rick Steves, asli warga AS yang melakukan perjalanan ke Iran pada 2008 seperti yang dilansir USA Today.
Penulis gaek artikel perjalanan itu mengakui ia tak pernah mengalami memiliki pandangan dan prasangka terhadap sesuatu yang 'tercerai-berai' dan runtuh seketika setelah berjumpa situasi di lapangan, selain di Iran. Ia bahkan memproklamasikan Timur Tengah adalah negara 'paling mengejutkan dan menarik' yang pernah didatanginya.
Warga AS lain Daniel Noll dan Audrey Scott, yang berkeliling Iran pada 2011 juga memiliki pengalaman serupa. Berikut penuturan mereka.
"Orang Iran kerap terkejut saat mengtahui kami orang Amerika dan bisa mendapatkan visa ke negara mereka. Begitu menerima fakta itu, mereka langsung menyambut kami dengan hangat, semuanya, dari salam, senyum, pelukan, hadiah hingga undangan ke rumah, terutama bila pemandu kami sedang tidak terlihat bersama kami."
Mereka menulis kisah itu dalam sebuah blog perjalanan Uncornered Market.
(Audrey Scott bersama warga lokal Iran © Uncornered Market)
Kembali ke kisah Rick Steves pada kunjungan 2008, ia bersama delapan warga AS yang tinggal di Kanada dalam rombongan tur, diperlakukan bak selebriti Hollywood.
"Bahkan saya pernah dikelilingi oleh pelajar putri di sebuah taman di Shiraz dan juga di makam penyair Sadi dari abad ke-13 untuk dimintai tanda tangan," ungkap Steve. Tak hanya itu ia juga diundang untuk bersantap malam di rumah seorang pemilik toko sepatu di Isfahan yang memiliki TV dengan sambungan satelit ilegal sehingga bisa mengakses CNN dan opera sabun terkini Amerika.
Untuk memperkuat kisah tersebut, satu artikel belum lama dimuat oleh Washington Post menyatakan mayoritas turis asing di Iran---sekitar 3 juta pada 2011---datang memang untuk tujuan berziarah ke situs-situs sakral Syiah.
"Alasan bermacam batasan, termasuk keharusan menggunakan kerudung bagi setiap wanita dan larangan terhadap alkohol, membuat Iran bukan pilihan wisata bagi sebagian besar turis Barat," ujar Steves. Berdasar catatan resmi negara, saban tahun diperkirakan 1.000 hingga 1.500 turis Amerika berkunjung ke Iran.
Hanya saja, masih menurut Post, daya tarik utama negara itu adalah lokasi-lokasi bersejarah tak terhitung jumlahnya, termasuk reruntuhan Persepolis, kompleks istana berusia 2.500 tahun dan reputasi keramahan warganya. Bagi beberapa turis, kualitas kehidupan sosial yang penuh larangan dan tertutup dari luar juga memancing rasa penasaran.
"Sebagian presepsi warga Amerika terhadap Iran terbatas hanya oleh pidato Ahmadinejad yang anti-Amerika dan juga seruan-seruan "Matilah Amerika" yang mendapat dukungan dari Pemimpin Spiritual Tertinggi Ayatollah Khameini," bunyi sebuah artikel yang dimuat The Atlantic pada 2012.
Menariknya, menurut hasil poling World Public Opinion 2009, 51% warga Iran memiliki pandangan positif terhadap orang AS, jumlah itu juga sebanding dengan poling lain yang menyatakan orang AS disukai di Iran ketimbang di tempat lain di Timur Tengah. Asal tahu saja, rating presepsi bagus AS tidak pernah tinggi di negara-negara sekutunya seperti India atau Turki.
Sementara, Argo, dengan fokus cerita terhadap penyelamatan enam diplomat AS yang terjebak dalam krisis penyanderaan di Iran, mendapat kritikan dari Dubes Kanada yang juga menjadi salah satu karakter dalam film. Ia menyatakan Argo tak berbuat banyak untuk membetulkan pandangan selip bahwa Iran adalah negara yang selalu diwarnai revolusi dan kerusuhan berkepanjangan.
Ken Taylor kepada Canada.Com menuturkan ia menghabiskan hampir tiga tahun di Teheran. Selama itu ia tak pernah merasa kehidupannya terancam. Ia malah menggambarkan keramahan Iran 'tulus dan hangat'.
"Sisi menggelikannya,' imbuh Taylor, 'sepertinya penulis skenario di Hollywood tidak tahu apa yang mereka bicarakan."