REPUBLIKA.CO.ID, Baru pertama kali menjejakkan kaki ke Tokyo? Anda mungkin sudah memiliki sederet nama tempat untuk dituju, Asakusa, Odaiba, Shinjuku, atau Shibuya dengan Patung Hachikonya. Tidak ada yang salah.
Tapi bagi anda yang memiliki waktu lebih plus menginginkan sedikit petualangan untuk melihat sisi berbeda Tokyo atau dalam rangka melancong kedua kali di ibu kota negeri sakura itu, cobalah mengunjungi area Shibamata. Turis menyebutnya off beaten path, alias tujuan wisata tak biasa di luar perbincangan umum.
Memang di luar Jepang tempat ini kurang terdengar, tapi sesungguhnya sangat menarik untuk dilihat. Pasalnya di sana anda masih bisa menjumpai budaya dan atmosfer Era Edo. Bisa dibilang ini adalah kawasan kota tuanya Tokyo.
Salah satu dari sedikit kawasan yang sangat kental dengan aroma tradisional ini adalah Shitamachi yang dalam Bahasa Jepang berarti pusat kota tapi bagian bawah.
Sedikit kilas balik, pada permulaan Era Edo ada dua istilah geografis yang menggambarkan ketentuan pembagian lahan oleh Shogun Tokugawa. Shogun memberi lahan di area tinggi, kawasan perbukitan untuk keluarga kelas samurai. Area itu disebut Yamanote yang berarti ke arah gunung.
Sementara di area lebih rendah diperuntukkan untuk kelas pekerja, pedagang, perajin dan pengkriya yang disebut Shitamachi. Jadi Yamanote untuk masyarakat kelas atas sedangkan Shitamachi untuk kelas bawah.
Pada Jepang modern, Yamanote mengacu pada sebagian besar Tokyo saat ini yang mewakili masa depan. Sementara hanya sedikit kawasan yang disebut Shitamachi yang mengacu tradisional dan masa lalu Jepang. Namun, ketika Jepang getol melindungi dan melestarikan tradisi lama, Shitamachi pun kembali populer.
Beratus-ratus tahun setelah Edo, area itu masih dihuni oleh kelas pekerja, mulai dari perajin, pemilik toko, pemilik restoran dan pembuat makanan khas.
(Jalan pusat perbelanjaan dengan muara kompleks kuil Shibamata Taishakuten)
Jalan pusat perbelanjaan yang menjadi salah satu obyek wisata Shitamachi--mirip Malioboro namun lebih cantik dan tertata--dipenuhi toko-toko di kanan-kiri dengan arsitektur kuno.
Ada banyak barang yang dijual di sana. Sebagian besar adalah pedagang makanan khas Jepang. Salah satu yang wajib dicicipi adalah Dango, versi mochi berisi pasta kacang merah, dalam balutan tepung ketan dan kacang hitam. Juga ada timun jepang yang direndam dalam air es, jajanan murah menyegarkan dan menyehatkan.
Bila jalan perbelanjaan ditelusuri maka ujungnya akan bermuara pada satu kuil terkenal di kawasan itu yakni Shibamata Taishakuten yang dibangun pada 1692. Itu adalah kuil Budha Nichiren.
Seperti bangunan kuno negeri Sakura lainnya, kuil ini juga memiliki arsitektur khas Jepang masa lalu, yang penuh dengan ukiran dan simbol-simbol.
Satu yang menarik dalam kompleks kuil ini adalah pohon terkenal bernama Zui-ryu-matsu. Pohon ini unik karena memiliki cabang lumayan panjang, berukuran hampir 3 meter, sehingga cabangnya perlu ditopang dengan tiang-tiang penyangga.
Kawasan ini dulu juga menjadi setting sebuah drama terkenal yang diproduksi pada tahun 1969-1995, berjudul 'Otoko wa Tsuraiyo' (Tak Mudah Menjadi Seorang Pria). Film dengan karakter utama Tora-san ini harus berakhir ketika aktor utamanya meninggal dunia. Kini patung karakter itu menjadi landmark yang berdiri tepat di dekat stasiun Shitamachi, Shibamata.
Bila anda berkesempatan ke sana, anda melihat suasana sepenuhnya beda dari hiruk-pikuk ibu kota. Tak ada gedung tinggi di kawasan itu. Orang-orang lebih hangat dibanding warga Tokyo kebanyakan. Bahkan anda pun bisa melihat pedagang kaki lima di Shitamachi, sesuatu yang jarang dijumpai di kawasan lain Tokyo yang terkenal 'disiplin'.