Ahad 07 Oct 2012 11:00 WIB

Seri Menaklukkan Bromo: Lombok Terong Khas Tengger

Rep: Erik Purnama Putra/ Red: Hafidz Muftisany
Suku Tengger Gunung Bromo
Foto: Antara
Suku Tengger Gunung Bromo

REPUBLIKA.CO.ID, Tidak terasa jam tangan menunjukkan pukul 05.00. Selepas area peristirahatan, kondisi jalan relatif cukup baik, meski beton yang ada sudah banyak terkelupas. Motor kami tidak perlu lagi bersusah-payah menaklukkan medan berat.

Lima menit kemudian kami sudah sampai di Jemplang, sebuah pertigaan di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Malang. Menjelang matahari terbenam, puluhan wisatawan, baik yang dari Bromo maupun baru datang guna meneruskan perjalanan ke Gunung Semeru berkumpul di situ.

Dari titik Jemplang, kalau wisatawan ingin ke Bromo, maka memilih jalur kiri menuruni Bukit Teletubbies. Sedangkan jika ingin menuju Ranu Pane, Ranu Kumbolo, atau bahkan Puncak Mahameru, pengunjung harus mengikuti jalur ke arah kanan menuju wilayah yang masuk Kabupaten Lumajang.

Kami bertiga menikmati seduhan mie instans kuah dengan bumbu tambahan Lombok terong. Yang dimaksud lombok terong adalah cabai ukuran dua jari orang dewasa yang menjadi tanaman khas Suku Tengger.

Meski tidak mengenyangkan, hal itu sudah cukup untuk mengganjal perut kami. Pukul 17.45 WIB, kami memacu kendaraan menuruni hutan lebat dengan kondisi jalan di beton. Cukup telat untuk melakukan perjalanan karena sudah gelap, tapi karena sudah cukup hafal medan jadi kendala itu bisa diatasi.

Selama menuruni jalur dari Jemplang, kami banyak menemui warga Tengger yang banyak berkumpul di depan rumah atau diperapian dadakan yang mereka buat. Hal itu tentu menjadi hiburan tersendiri untuk memecah keheningan dan suara jangkring yang mendampingi perjalanan kami.

Andai saja waktu itu masih siang, saya pasti akan mampir ke Coban Trisula atau Coban Pelangi yang sangat kesohor itu. Namun keinginan itu saya pendam dulu hingga di lain hari saya berjanji untuk kembali mengunjungi dua tempat wisata air terjun itu.

Semakin ke bawah, kami dengan mudah menemukan permukiman penduduk. Tidak terasa, saya sampai rumah menjelang pukul 20.00 WIB.

Saya tidak sadar ketika melepas jaket hitam dan mendapatinya berubah warna dipenuhi debu kecoklatan. Saya juga bergegas mencopot kedua sepatu yang saya pakai untuk membuang pasir yang memenuhi sepatu tersebut.

“Sangat capai, tapi luar biasa seru,” kata Bery. Tentu, pengalaman melakukan perjalanan 10 jam non-stop sangat seru. Saya sebut perjalanan ini tidak dapat dilupakan dan bisa menjadi bahan obrolan saya ketika kembali bekerja di Ibu Kota.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement