REPUBLIKA.CO.ID,Manusia dari berbagai bangsa memadati area Convent Garden Market, London. Matahari hari itu bersinar terik, membuat orang berbondong-bondong keluar untuk sekadar menikmati panas.
Suhu sekitar 28 derajat Celcius menjadi "barang mewah" di London. Kendati musim panas, suhu di London biasanya tidak beranjak dari kisaran 10 derajat Celcius.
Obrolan manusia di pinggir cafe terbuka menjadi pemandangan umum. Bercampur dengan denting adukan kopi di gelas-gelas, membuat suasana menjadi ramai. Di tengah keramaian ini, terselip sebuah tempat hening di sudut Covent Garden. Di papan penunjuk jalan tertulis "Saint Martin Street".
Saya pernah mendengar sedikit cerita tentang tempat ini. Kabarnya, di tempat ini banyak toko menjual barang-barang antik. Kaki ini pun tergerak untuk terus melangkah. Benar ternyata. Begitu menyusuri jalan, Saya disambut oleh deretan toko yang menjual barang- barang tua. Saya kemudian menyambangi salah satu toko bernama Antiques.
Etalase toko didominasi warna hijau tua. Di bagian teras toko berdiri meja berukuran 1X1 meter. Di atas nya berjejer buku-buku lawas. Salah satunya "History of the Kings of Britain" (cetakan ulang tahun 1902) karya Geoffery of Monmouth. Buku ini pertama kali dicetak pada abad ke-12. "Itu harganya 25 poundsterling (sekitar Rp 350 ribu). Buku yang sangat langka," kata Mark Twain, pemilik toko Antiques.
Twain sudah 20 tahun menjaga toko ini. Selain menjual barang- barang kuno, toko ini juga terbilang lawas. Sambil mengajak Saya memasuki toko seluas 2X4 meter itu, dia berkisah,"Toko ini sudah ada sejak Perang Dunia II. Kakek saya yang pertama memilikinya."
Twain, 47 tahun, memperlihatkan barang koleksi bersejarah yang ada di toko miliknya. Ada sebuah penutup guci Cina peninggalan Dinasti Ming, bereneka ragam medali kerajaan, serta koin berusia ratusan tahun. Semua tersimpan rapi di meja kaca sepanjang tiga meter.
Ia menjelaskan, harga barang di tokonya bervariasi, bergantung usia dan nilai sejarah barang itu. Ia mematok harga mulai lima hingga ribuan poundsterling. Tidak hanya Saya yang siang itu menyambangi lokasi toko Antiques. Seorang pria berambut pu tih bernama James terlihat sibuk mengamati koin dengan kaca pembesar miliknya. "Saya kolektor sekaligus sejarawan," ucap James.
James dan Twain ternyata sudah akrab. Ketika James hadir di toko Antiques, mendadak Twain ke gudang di belakang toko. Sekembalinya dari gudang, Twain menenteng botol anggur dan dua gelas di tangan kanannya. Anggur dituangkannya di gelas.
"Ini untukmu," kata Twain sambil memberi gelas anggur pada James. Sambil meminum anggur berwarna merah tua, keduanya mulai bernegosiasi harga. Di tengah tawar-menawar harga, James sempat mengungkapkan kesannya tentang Indonesia. "Indonesia adalah tempat yang indah dan sangat eksotis. Banyak benda dan situs bersejarah di sana," katanya.
James belum pernah ke Indonesia. Ia hanya mengetahui kebesaran nusantara dari literatur sejarah yang dia pelajari di Cambridge University. James menyebut kerajaan Sriwijaya pada masa lalu memiliki pengaruh besar di Asia.
James mengungkapkan niatnya berkunjung ke Indonesia. Ia mengaku banyak mendengar cerita keindahan Bali. "Tapi, saya lebih ingin mengunjungi Krakatoa (Gunung Krakatau)," ucapnya. "Di manakah tempat yang menjual barang-barang tua di Indonesia. Siapa tahu saya ke Indonesia dan mencari barang koleksi toko?" tanya Twain kepada saya.
Mungkin tak sama persis. Tapi setidaknya, ada sebuah tempat di Jakarta yang memiliki suasana mirip dengan Saint Martin Street di Covent Garden London. Namanya Jalan Surabaya di daerah Menteng.