Kamis 02 Aug 2012 21:52 WIB

Film Kerusuhan Ras 1969 Malaysia Picu Kontroversi

Potongan adegan dalam film Tanda Putera
Foto: AFP
Potongan adegan dalam film Tanda Putera

REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Sebuah film Malaysia yang ikut didanai pemerintah dianggap menyentuh episode paling sensitif dalam sejarah negara itu. Film itu juga memunculkan ketakutan bakal memicu ketegangan rasial di saat menjelang pemilu.

Jauh sebelum dirilis, Tanda Putera, menjadi salah satu target kritikus yang mengatakan film itu menggambarkan kekerasan ras yang terjadi empat dekade lalu. Peristiwa tersebut hingga kini masih menghantui dan menyebabkan trauma sejumlah warga dianggap tidak bertanggung jawab. T

Kerusuhan beberapa pekan meletus pada 13 Mei 1965 antara etnis mayoritas Melayu dan Cina setelah terjadi kericuhan pemilu yang memenangkan koalisi partai berkuasa yang didominasi Melayu. Angka resmi menyatakan 196 orang tewaas, namun banyak pihak menyatakan korban jauh lebih tinggi.

Kerusuhan itu, yang terkenal dengan sebutan 13 Mei, memiliki dampak begitu luas. Peristiwa itu mempercepat langkah politik UMNO untuk mengukuhkan hak istimewa bagi Melayu yang ditolak oleh grup etnis lain. Pascakerusuhan yang akhirnya berhasil dipatahkan pemerintah, meletakkan pemerintahan selama berdekade yang oleh sebagian warga dipandang otoriter.

Bahkan saat ini, UMNO dipandang masih kerap menyinggung insiden 13 Mei untuk memperingatkan ancaman terhadap kestabilan negara. Bagi para oposisi, sikap itu dianggap hasutan ketakutan berbasis ras.

Tanda Putera ialah film pertama mengenai peristiwa tersebut, di mana penyebab sesungguhnya masih diperdebatkan. Menanggapi kritik dan serangan, sutradara film tersebut, Shuhaimi Baba, membela filmnya.

"Apa yang kontroversial mengenai itu? Negara-negara lain memiliki film tentang sejarah mereka sendiri tanpa harus saling menggonggong," ujarnya. Ia menegaskan kritikus harus diam sebelum mereka menonton sendiri film tersebut.

Sebuah ulasan media berbahasa Malaysia, memuji kualitas film itu yang telah diputar khusus untuk pers pada 18 Juli lalu. Para pendukung juga menyatakan film itu tak terlalu fokus kepada kerusuhan, alih-alih hubungan antara pemerintah tertinggi Malaysia yang menghadapi peristiwa itu menjadi menu utama.

Namun seseorang yang terlibat dalam pembuatan film menyatakan itu ialah propaganda pemerintah. Pasalnya di dalamnya terdapat adegan pemenggalan warga Melayu oleh Cina dan seorang warga Cina meneriakkan "semua Melayu pergi dan mati."

"Film itu hanya menampilkan satu sisi peristiwa," ujar si sumber yang menolak disebut namanya.

Separuh dana film itu yang menyedot biaya 1,5 juta dolar AS memang dikucurkan oleh Perusahaan Pengembangan Film Nasional, (Finas)

sumber : AFP
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement