REPUBLIKA.CO.ID,Butiran legam itu pada suatu masa adalah permata bagi perusahaan multinasional (MNC) Belanda, VOC. Perdagangan kopi dunia pada awal abad ke-17 menggiurkan bagi VOC yang kemudian mempunyai ide untuk menanam kopi di nusantara.
Pada 1699, VOC mengirimkan bibit kopi ke Pulau Jawa untuk ditanam di Sukabumi dan Bogor. Saat itu, jenis kopi yang dikembangkan di Indonesia adalah jenis arabica yang didatangkan langsung dari Yaman.
Beberapa tahun sesudahnya, tepatnya pada 1711, VOC pertama kalinya mengekspor kopi ke daratan Eropa daratan, berkat sistem tanam paksa yang memakan ribuan korban jiwa.
Karena otak dagang VOC, Indonesia hingga kini menjadi penghasil kopi yang dikenal di dunia. Hingga kini, Indonesia adalah penghasil kopi terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Vietnam. Karena kontribusi kopi nusantara pula, VOC mampu memonopoli perdagangan global kopi pada kurun 1725- 1780.
Pada 1860, Douwes Dekker dalam buku Max Havelaar and The Coffee Auctions of The Dutch Trading Company membelalakkan publik Eropa dengan membeberkan praktik perkebunan kopi di Indonesia. Tetapi, sat itu dilema bagi Pemerintah Belanda. Konon, pada satu masa, kontribusi perdagangan komoditas kopi dari wilayah Hindia Belanda menyumbang sampai 30 persen dari produk domestik bruto (PDB) Kerajaan Belanda.
Pada permulaan abad ke-20 perkebunan kopi di Indonesia mulai terserang hama dan hampir memusnahkan seluruh tanaman kopi. Akhirnya, pemerintah penjajahan Belanda memutuskan untuk mencoba menggantinya dengan jenis kopi yang lebih kuat terhadap serangan penyakit, yaitu kopi liberika dan ekselsa.
Sebelum Perang Dunia II, di Jawa Tengah terdapat jalur rel kereta api yang digunakan untuk mengangkut kopi, gula, merica, teh, dan tembakau ke Semarang untuk kemudian diangkut dengan kapal laut. Kopi yang ditanam di Jawa Tengah umumnya adalah kopi arabica.
Di daerah pegunungan dari Jember hingga Banyuwangi terdapat banyak perkebunan kopi arabica dan robusta. Kopi robusta tumbuh di daerah rendah sedangkan kopi arabica tumbuh di daerah tinggi. Setelah kemerdekaan, banyak perkebunan kopi yang diambil alih oleh pemerintah yang baru atau ditinggalkan. Saat ini, sekitar 92 persen produksi kopi berada di bawah petani-petani kecil atau koperasi.