Selasa 10 Apr 2012 06:35 WIB

"Sanubari Jakarta", Drama Cinta dari Segi Berbeda

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Hazliansyah
Lola Amaria memberikan pandangannya seputar film di Indonesia dalam diskusi yang berjudul
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Lola Amaria memberikan pandangannya seputar film di Indonesia dalam diskusi yang berjudul "Aku Cinta Film Indonesia" di Auditorium Gedung Film, Selasa (27/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak seperti film drama cinta yang biasa ditawarkan, “Sanubari Jakarta” menyuguhkan cerita cinta dari segi berbeda. Dengan kisah yang masih tabu di sebagian kalangan, para sineas muda Indonesia memberanikan diri mengangkat fenomena cinta tak biasa yang terjadi di ibu kota.

Sanubari, sebuah kata yang mungkin bagi sebagian orang terkesan kurang lazim. Namun dari kata tersebut Lola Amaria dan Fira Sofiana yang bertindak sebagai produser dari sebuah kompilasi sepuluh film pendek mengemasnya dalam suatu kumpulan film yang apik dan berbeda.

“Sanubari Jakarta” merupakan sebuah kumpulan cerita film pendek dari sepuluh sutradara muda Indonesia. Film ini mengangkat sepuluh kisah tentang komunitas lesbian, gay, biseksual dan transeksual (LGBT) yang berdurasi masing-masing sepuluh menit. Kisah yang disajikan bukanlah semata-mata hasil imajinasi sang sutradara, namun berdasarkan kehidupan nyata yang ada di Jakarta serta berbagai sisi kemanusiaan yang menyelimutinya.

Produser sekaligus sutradara salah satu cerita, Lola Amaria, mengatakan pemilihan tema yang tak biasa ini bertujuan memperkenalkan kepada khalayak umum bahwa ada komunitas di masyarakat yang patut dihargai. Lola menyebut pembuatan film yang akan tayang di bioskop mulai Kamis (12/4) ini tidak dimaksudkan untuk menghakimi atau membela komunitas tertentu.

“Kami hanya mau menceritakan, mudah-mudahan masyarakat bisa menerima,” ucapnya, saat ditemui usai pemutaran film di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), Senin (9/4).

Pembuatan film melalui banyak proses dan memakan waktu satu tahun mulai dari pengerjaan naskah sampai dengan pengambilan gambar. Semuanya dikerjakan di Indonesia. Naskah cerita yang dibuat oleh penulis muda 21 tahun, Lele Leila ini juga melelui berbagai tahapan seleksi dan konsultasi kepada para aktivis LGBT. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman ataupun stigmatisasi yang mungkin muncul di kalangan masyarakat nantinya. “Kami gak mau mengarang karena takut bias, makanya risetnya lama,” kata Lola.

Uniknya, para pemain dalam film ini tidak dibayar atas jasa perannya. Karena film indie, dana yang dimiliki Lola dan Fira cukup terbatas. Namun begitu, para pemain, seperti misalnya Reuben Elishama Hadju, Dinda Kanya Dewi, Pevita Pearce, Gia Partawinata dan lainnya, tidak merasa  keberatan. Dengan alasan senada, selain karena mencitai dunia akting, para pemain rela tidak mendapat bayaran hingga mau berpartispasi dalam film yang bercerita tentang cinta dengan cara yang jarang diangkat ini. Meski begitu, hasil dari penjualan tiket film nantinya akan dibagi rata kepada sepuluh sutradara, yang nantinya akan diteruskan pula ke para pemain.

Meski tema yang diangkat masih terkesan tabu, Lola dan yang lain berharap film yang akan dibawa ke Korea, San Fransisco, Belanda dan negara-negara di Asia Tenggara ini ini bisa membuka simpati publik terhadap komunitas yang selam ini terpinggirkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement