REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU - Desa Teluk Lanus di Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, terbilang merupakan salah satu pemukiman penduduk sangat terisolasi di tepian Selat Malaka, alur perniagaan global teramai di dunia.
Kendati begitu, menurut salah satu warga Sungai Apit, Jai, (44), Kamis, desa ini memiliki sejumlah keunikan, karena di kawasan itu banyak ditemui ornamen peninggalan sejumlah perusahaan perkayuan dan pertambangan kelas dunia.
Satu hal lagi, di desa terpencil dan terisolasi ini, dapat dijumpai sebuah miniatur tugu proklamasi. Tetapi uniknya, tertulis teks proklamasi tertanggal 24 Desember 1994 (bukan 17 Agustus 1945).
Di bagian tengah tugu tersebutlah, terukir teks proklamasi di atas sebuah batu berukuran lebih kurang setengah meter kali setengah meter. "Yang semakin unik dari tugu tersebut, pada plakat peresmiannya ditandatangani bukan oleh orang kita, tetapi namanya Zelnon Effendi tertanggal, tertanggal 27 Desember 1994," ujar Jai lagi.
Posisi desa ini, benar-benar terpencil dan terisolasi, jauh dari pusat pemerintahan kabupaten, serta benar-benar susah dijangkau.
Pasalnya, transportasi umum ke dan dari kawasan ini hanya menggunakan 'pompong'. Itu pun hanya sekali jalan, dan tidak setiap hari.
Teluk Lanus ini merupakan satu dari 15 desa dan kelurahan di Kecamatan Sungai Apit dan terletak terujung dari kecamatan tersebut, mengarah ke Selat Malaka. "Dengan menggunakan 'pompong' (perahu tradisional rakyat tempatan) kita akan melewati Selat Lalang yang memakan waktu tempuh sekitar tujuh jam," tuturnya. Namun, lanjutnya, jika air pasang menentang arus, waktu perjalanan bisa lebih lama, yakni sekitar 10 jam.
Bekas Perusahaan Jepang
Jai menuturkan, Teluk Lanus diambil dari dua buah kata, yaitu Teluk dan Lanus. Kata teluk karena posisi kampung tersebut berada di sebuah teluk (persis di tanjung kecil di dalam kawasan selat itu).
Sedangkan Lanus berasal dari sebuah nama sungai kecil yang ada di daerah tersebut, yaitu Sungai Lanus.
Dulu di daerah tersebut berdiri sebuah perusahaan Jepang bernama Tri Omas. Tri berarti tiga, sedangkan Omas singkatan tiga induk konsorsium gabungan tiga perusahaan, yaitu, Ozi, Mitzui dan Alas.
Perusahaan dari negeri matahari terbit (Jepang) tersebut, bergerak di bidang penebangan kayu, untuk dijadikan bahan baku mebel, kayu lapis dan lain sebagainya.
Perusahaan ini berdiri tahun 1969 dan tutupnya pada tahun 1974 itu. Mereka mempekerjakan ribuan karyawan, berasal dari berbagai daerah yang ada di Nusantara ini. "Dahulunya perkampungan tersebut sangat maju dan ramai penduduknya. Di lingkungan perusahaan tersebut memiliki berbagai fasilitas umum yang disediakan oleh perusahaan untuk menunjang kesejahteraan para karyawannya," tutur Jai.
Namun, setelah perusahaan angkat kaki dari daerah tersebut, para karyawan tidak pulang ke kampung halaman. Mereka masih tetap di sana dengan pekerjaan sehari-hari membabat hutan. "Tetapi, kini situasi berubah 180 derajat. Mereka pun hidup dari bertani dan berkebun. Masalahnya, mereka menghadapi kesulitan memasarkan hasil usahanya, karena alat transportasi ke daerah lain jarang ada," ungkapnya.
Kalau pun kebetulan ada perahu berukuran sedikit besar yang merapat, itu sangat tidak menentu, dan memerlukan biaya melebihi hasil jual dari produk pertanian dan perkebunan mereka. "Posisi mereka sebetulnya sangat vital di garis terdepan perbatasan laut Nusantara, sehingga memerlukan atensi khusus. Mereka bisa menjadi citra kita di Selat Malaka," demikian Jai.