REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA--Sutradara Setiawan Hanung Bramantyo merasa difitnah terhadap berita yang menyatakan bahwa dirinya yang menjadi biang keladi dinaikkan pajak film asing sehingga mereka memboikot tidak mau masuk ke Indonesia.
''Banyak sekali orang mencaci maki saya dan dikatakan saya sebagai biang keladi dinaikkannya pajak film asing. Ini semua karena gara-gara salah satu media (red, Jawa Pos) yang menulis 'gara-gara saya keluhan saya ke Presiden, jajaran di pajak mina regulasi film yang akhirnya pajak film impor dinaikkan.'. Itu bahasa yang menyudutkan saya, seolah-olah sayalah penyebab film asing memboikot untk masuk ke Indonesia. Itu merupakan fitnah,''kata Hanung pada Republika, Senin (21/2).
Dia mengaku tidak pernah bertemu Presiden, tetapi dia mengaku pernah menulis di twitter tiga bulan lalu yang mengkiritk bahwa pajak film nasional supaya ditinjau ulang. Lalu di salah satu koran nasional (red. Kompas) dengan judul "Film Indonesia Dibunuh oleh Pemerintah Sendiri" dan tulisan yang di koran tersebut yang dibaca Presiden.
''Saya mengharapkan supaya pajak film nasional itu diturunkan dan dikembalikan untuk support film nasional yakni untuk dipakai untuk meningkatkan kualitas film nasional.Dan selama ini tidak ada bukti untuk itu,''tutur dia.
Hanung mengungkapkan, sejak zamannya Teguh Karya hingga kini hanya ada satu sekolah film. Padahal sekolah film sangat penting untuk mencetak film yang bagus. Sekarang banyak film yang skenarionya jelek, seperti kuntil anak dan lain-lain. Untuk menciptakan film yang bagus harus disupport dengan adanya sekolah film dan pajak film seharusnya untuk mendirikan sekolah film.
Di samping itu, dia menambahkan, selama ini di Indonesia hanya dua laboratorium dan yang satunya bahkan mau bangkrut. Akhirnya jadi susah untuk mencuci film dengan kualitas bagus. Selanjutnya, gedung bioskop di Indonesia hanya ada sekitar 600-640 layar padahal penduduknya 200 juta, sedangkan di Turki dengan penduduk 60 juta orang, ada 4000 layar.
Pajak untuk membuat film sendiri yang lebih tinggi sekitar 10-15 persen dari pajak masuknya film impor tidak pernah untuk mendirikan sekolah film, membangun gedung bioskop dan lain-lain. Selama ini pajak untuk membuat film sendiri diambil dari sewa layar, honor pemain, bahan baku film dan di akhir tahun pun masih kena pajak. Sebetulnya kalau pajak film nasional untuk mensupport hal itu, tidak pelu menaikkan pajak film impor.
Meskipun film impor asing membuat masuk ke Indonesia sama saja tidak akan meningkatkan kualitas dan kesempatan berkembang film Indonesia kalau tanpa didukung infrastruktur yang bagus. ''Hal ini ibarat ledeng di buka lebar, tetapi airnya tidak ada,''ungkap dia.