REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernah enggak spontan merasa mual atau kepala langsung berdenyut saat mencium aroma parfum yang dipakai seseorang? Jangan anggap diri berlebihan atau lebay. Ternyata, reaksi keras terhadap wewangian adalah hal yang sangat nyata dan ilmiah.
Aroma yang bagi satu orang terasa nyaman dan penuh kenangan, bisa jadi "racun" bagi orang lain. Mengapa bisa begitu? Apakah ini soal selera, genetik, atau pengalaman masa lalu? Jawabannya, menurut para ahli, adalah gabungan dari semuanya. Ketika sebuah aroma membuat kamu ingin menjauh, itu artinya sistem tubuh, mulai dari hidung hingga otak, sedang bereaksi secara unik.
Bagian tubuh yang bertugas mencium bau adalah sistem olfaktori. Semua manusia punya sistem ini, tetapi cara kerjanya sangat personal. Psikolog kognitif dari Monell Chemical Senses Center, Pamela Dalton PhD, mengatakan meskipun manusia kemungkinan berbagi seperangkat inti reseptor penciuman yang sama, ada variasi genetik pada reseptor mana yang diekspresikan. "Beberapa orang mungkin saja tidak mencium seluruh rangkaian aroma; hidung mereka mungkin kehilangan aroma penyeimbang dan hanya menangkap aroma yang tidak menyenangkan," ujarnya.
Bayangkan parfum sebagai orkestra. Hidung mungkin hanya mendengar nada sumbang, sementara temanmu menikmati harmoni penuh. Seorang senior perfumer (peracik parfum) di Delbia Do Fragrances, Daryl Do, mengatakan beberapa orang, misalnya, tidak bisa mencium musk sama sekali, mereka anosmic terhadapnya. "Sementara itu, yang lain mungkin menganggapnya terlalu kuat atau memualkan. Ini sangat individual," kata dia,
Terkadang masalahnya bukan sekadar tidak suka, tetapi reaksi fisik yang menyakitkan. Jika kamu langsung migrain atau merasakan sengatan tajam saat mencium bau tertentu, "salahkan" saraf trigeminalmu. Saraf ini mendeteksi tekanan, suhu, dan rasa sakit di rongga hidung.
Ketika suatu wewangian (terutama yang mengandung bahan kimia kuat seperti mentol atau bahan sintetis keras) merangsang saraf ini, ia bisa memicu reaksi fisik seperti pusing atau migrain. "Saya adalah salah satu orang itu. Jika saya masuk ke Uber (transportasi online-Redaksi) dengan pengharum ruangan atau berjalan melewati seseorang yang memakai cologne yang kuat, saya akan mengalami migrain," ujar profesor otolaringologi dari Stanford University, Zara Patel, MD.