REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peristiwa tragis ledakan yang diduga bersumber dari rakitan bahan peledak di SMAN 72 Jakarta dianggap menjadi alarm keras tentang kerentanan mental remaja di lingkungan pendidikan. Kasus yang melibatkan seorang peserta didik sebagai terduga pelaku ini dinilai menunjukkan adanya tantangan multidimensi yang kompleks, di mana emosi pribadi yang tidak terkendali bertemu dengan paparan narasi ekstrem dari ruang digital.
Komisioner KPAI Klaster Pendidikan, Waktu Luang, dan Budaya, Aris Adi Leksono, mengatakan peristiwa ini tidak hanya mencederai rasa aman di lingkungan pendidikan. "Tetapi juga menunjukkan adanya tantangan serius dalam membangun budaya sekolah yang ramah anak dan antikekerasan," kata dia pada Rabu (12/11/2025).
KPAI merekomendasikan serangkaian upaya, mulai dari deteksi dini masalah mental, pengembangan dukungan psikososial di sekolah, hingga penguatan regulasi penanganan kekerasan, sebagai langkah vital pencegahan paham ekstremisme pada anak. Latar belakang kasus di SMAN 72, di mana hasil pemantauan awal mengungkapkan bahwa pelaku menunjukkan perubahan perilaku signifikan, menjadi tertutup dan lebih sering mengakses konten bernada radikal, disebut memperkuat dugaan bahwa akar masalahnya adalah kombinasi dari gejolak emosi internal dan internalisasi narasi ekstrem.
Menyikapi urgensi ini, psikolog remaja dan anak lulusan Universitas Indonesia, Vera Itabiliana, menyerukan pentingnya bagi remaja untuk mengenali emosi mereka sendiri guna menentukan langkah hidup yang lebih baik dan terarah. Menurut Vera, literasi emosi sangat menentukan arah hidup seorang remaja.
"Semakin remaja mengenali emosi dan nilai-nilainya, semakin mudah ia menentukan langkah dan pilihan hidup yang sesuai," kata Vera.
Dia merekomendasikan beberapa langkah praktis agar remaja kian memahami kompleksitas perasaan yang kerap timbul. Pertama, adalah kesadaran terhadap perasaan dan reaksi diri. "Coba kenali kapan merasa senang, marah, kecewa, atau takut dan apa pemicunya," ujarnya.
Mengenali pemicu ini membantu remaja mengambil jeda sebelum bereaksi destruktif. Selain itu, langkah sederhana seperti menuliskan pikiran dan perasaan dalam jurnal atau buku harian juga dapat menjadi pilihan efektif sebagai katarsis.
Tak hanya emosi, Vera juga menekankan refleksi nilai dan minat pribadi, mendorong remaja untuk memahami hal apa yang penting bagi mereka dan yang membuat mereka bersemangat, sambil belajar menerima kekurangan diri. Remaja sering terjebak dalam tuntutan kesempurnaan yang memicu stres dan kerentanan. "Tidak harus selalu sempurna untuk diterima," ujarnya.
Pengakuan terhadap ketidaksempurnaan ini dinilai sangat krusial untuk membangun self-acceptance yang sehat. Apabila gejolak emosi atau persoalan yang dialami dirasa sudah terlalu berat untuk ditanggung sendiri, Vera menyarankan agar remaja tidak ragu meminta bantuan kepada orang tua, guru BK, atau orang yang dianggap terpercaya dan peduli.
View this post on Instagram