REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sering kali orang tua merasa kebingungan ketika menghadapi anak yang cenderung usil atau suka mengganggu. Padahal, menurut pendidik di Rumah Main Cikal Bandung, Dara Farhana, sifat usil tidak selalu identik dengan nakal.
Dengan pendekatan yang tepat, orang tua justru memiliki peluang emas untuk mengajarkan anak tentang pemahaman perasaan orang lain, pengelolaan emosi, serta cara mengekspresikan diri dengan cara yang jauh lebih konstruktif dan positif. Mengingat pentingnya periode usia dini dalam pembentukan karakter, Dara membagikan tiga kiat mendidik dan menghadapi anak yang usil yang bisa diterapkan oleh orang tua maupun guru:
1. Hindari kata larangan “jangan”
Dalam upaya menasihati anak yang usil, penggunaan kalimat negatif atau larangan harus diminimalkan. Sebagai pendidik anak usia dini, Dara sangat menyarankan penggunaan kalimat positif yang berfokus pada perilaku yang diharapkan. Tujuannya adalah membantu anak memahami secara langsung tindakan apa yang sebaiknya mereka lakukan.
“Dalam pendekatan pendidikan anak usia dini, lebih disarankan untuk menggunakan kalimat positif yang memberi tahu anak apa yang sebaiknya dilakukan, bukan hanya apa yang tidak boleh. Misalnya, daripada berkata 'jangan dorong teman!', orang tua bisa mengatakan, 'yuk, kita antri dengan tenang',” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id pada Kamis (9/10/2025).
Meskipun demikian, kata "jangan" tidak sepenuhnya dilarang. Namun, penggunaannya harus disertai dengan penjelasan yang memadai agar anak tidak hanya sekadar mematuhi larangan, tetapi juga memahami alasan di baliknya serta dampak dari tindakan mereka. Dara mengatakan, setelah mengatakan “jangan”, guru atau orang tua perlu tetap memberi penjelasan singkat tentang alasannya, serta mengajak anak merefleksikan perbuatannya. Dengan begitu, anak tidak hanya tahu bahwa perilakunya dilarang, tetapi juga belajar tentang dampak tindakannya terhadap orang lain.
2. Tidak memarahi anak
Kerap kali, orang tua atau guru menggunakan bentakan atau nada tinggi sebagai bentuk peringatan, namun Dara menegaskan memarahi anak bukanlah cara yang efektif untuk menasihati mereka. Ketika anak dimarahi dengan luapan emosi, mereka cenderung fokus pada ketakutan atau rasa malu akibat bentakan tersebut, dan bukan pada esensi perilaku yang perlu diperbaiki. Akibatnya, proses belajar dan refleksi diri tidak terjadi.
“Memarahi anak dapat berdampak kurang mendidik dan bahkan memperburuk perilaku dalam jangka panjang,” ujarnya.
Menurut dia, pendekatan yang jauh lebih baik adalah melalui komunikasi yang tenang dan reflektif. “Pendekatan yang lebih efektif adalah dengan menenangkan anak terlebih dahulu, lalu mengajak berbicara secara reflektif. Menjelaskan dampak dari perilakunya terhadap orang lain, dan membimbing mereka untuk memikirkan solusi atau cara bertindak yang lebih baik. Ini membantu perkembangan empati, tanggung jawab, dan regulasi diri. Kemampuan penting dalam kehidupan sosial anak,” ungkapnya.
3. Ajak anak reflektif dan diskusi tentang perilakunya
Langkah terakhir dan yang paling krusial adalah melibatkan anak dalam diskusi reflektif mengenai tindakan usil yang baru saja mereka lakukan. Pendekatan lembut dan penuh dialog ini dirancang untuk secara bertahap mendorong anak mengembangkan rasa empati dan kesadaran diri. Orang tua atau guru perlu memposisikan diri sebagai fasilitator, bukan sebagai hakim, dengan mengajukan pertanyaan yang memicu anak untuk melihat situasi dari sudut pandang orang lain.
“Misalnya dengan bertanya, 'kira-kira perasaan temanmu seperti apa ya saat itu?' atau 'kalau kamu diperlakukan begitu, kamu merasa bagaimana?',” ujar Dara.
Dialog semacam ini dinilai memiliki kekuatan besar karena pendekatan ini membantu anak mengembangkan empati, kesadaran diri, dan rasa tanggung jawab, tanpa merasa takut atau malu. Para pendidik di Rumah Main Cikal meyakini bahwa relasi yang hangat dan penuh rasa hormat adalah dasar dari pembelajaran yang bermakna bagi anak usia dini.
View this post on Instagram