Senin 04 Aug 2025 16:58 WIB

LMKN Tegaskan Putar Suara Alam di Kafe Juga Kena Royalti

Musik termasuk yang bersifat instrumental tetap merupakan karya cipta.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Indira Rezkisari
Banyak kafe memilih memutar suara alam di tengah polemik isu royalti musik. Ternyata menurut LMKN, suara-suara seperti kicauan burung atau rekaman suara alam yang diputar di ruang komersial tetap berada dalam ranah perlindungan hak cipta.
Foto: dok pxhere
Banyak kafe memilih memutar suara alam di tengah polemik isu royalti musik. Ternyata menurut LMKN, suara-suara seperti kicauan burung atau rekaman suara alam yang diputar di ruang komersial tetap berada dalam ranah perlindungan hak cipta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah jejaring Mie Gacoan di Bali tersandung kasus hukum terkait dugaan pelanggaran hak cipta atas penggunaan musik, banyak pengelola kafe dan restoran merasa resah. Tak sedikit dari mereka yang kini beralih memutar lagu musisi luar negeri, instrumental, suara alam, bahkan tidak memutar musik sama sekali di tempat usaha.

Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, menegaskan penggunaan musik dalam bentuk apa pun tetap dikenai kewajiban membayar royalti. Pasalnya, musik termasuk yang bersifat instrumental, tetap merupakan karya cipta.

Baca Juga

"Yang penting dipahami, musik bahkan tanpa lirik atau hanya suara instrumental itu tetap karya cipta. Bukan soal ada kata-kata atau suara vokalnya. Yang buat musik, yang merekam, semua punya hak," ujar Dharma saat dihubungi Republika, Senin (4/8/2025).

la menjelaskan, suara-suara seperti kicauan burung atau rekaman suara alam yang diputar di ruang komersial tetap berada dalam ranah perlindungan hak cipta. Karena produser rekaman pun berhak atas karya yang mereka hasilkan.

"Jadi, bukan masalah lagu Barat, lagu daerah, atau suara burung. Selama itu direkam dan diputar untuk kepentingan usaha, ada hak yang harus dihargai," jelas dia.

Dharma pun menegaskan bahwa royalti bukanlah pungutan yang menakutkan, melainkan bagian dari ekosistem yang adil untuk mendukung pelaku industri musik. "Bayar royalti itu kewajiban. Ini bukan momok. Justru dengan membayar royalti, kita sedang menyusun peradaban yang baik untuk bangsa," kata dia.

Lebih lanjut Dharma menjelaskan, royalti atas pemutaran musik di kafe dan restoran tidak dihitung berdasarkan jumlah lagu yang diputar. Akan tetapi, berdasarkan jumlah kursi yang tersedia di tempat usaha tersebut. Besaran tarif yang dikenakan adalah Rp 120 ribu per kursi per tahun, dengan asumsi okupansi maksimal 60 persen.

"Royalti bukan dihitung per lagu. Kita hitung jumlah kursi. Satu kursi Rp120 ribu setahun, dan itu sudah boleh mutar jutaan lagu, bebas," kata Dharma.

Menurutnya, skema ini dirancang agar adil dan terjangkau, terutama bagi pelaku usaha berskala kecil. Khusus bagi pelaku usaha kecil, LMKN bahkan tidak menggunakan asumsi operasional selama 365 hari.

"Untuk UMKM, kita sudah punya kebijakan keringanan. Misalnya soal jumlah hari operasi tidak dianggap penuh. Jadi tarif itu sudah sangat ringan sebenarnya," kata dia.

Menanggapi keluhan pelaku usaha yang menyebut minimnya sosialisasi terkait aturan ini, LMKN membantah anggapan tersebut. Dharma mengatakan, sejak 2016 pihaknya sudah melakukan pembahasan bersama Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengenai aturan kewajiban pembayaran royalti. Menurut dia, setiap pelaku usaha bisa mengakses informasi tersebut melalui laman resmi LMKN.

"Bisa juga baca Undang-undang Hak Cipta dan peraturan turunannya. Karena UU itu berlaku ketika sudah diketok palu. Begitu. Jadi alasan belum sosialisasi, ya boleh, tapi tidak masuk akal saja," kata Dharma.

Meski begitu, ia tidak menutup kemungkinan akan ada perbaikan dalam metode sosialisasi ke depan. Saat ini, LMKN juga sedang menyusun revisi tarif yang akan mencakup penyempurnaan kebijakan hingga platform digital.

"Sekarang ini sedang dibahas, saya sedang rapat membahas revisi tarif di Bogor, termasuk untuk digital. Ini bagian dari penyempurnaan terus-menerus," kata Dharma.

Soal transparansi dana royalti, Dharma mengklaim LMKN sudah terbuka dan akuntabel. Namun ia menekankan bahwa komitmen membayar adalah langkah awal sebelum berbicara soal pengawasan.

"Silakan periksa mekanisme transparansi keuangan. Tapi jangan belum bayar lalu bicara transparansi, itu tidak fair," kata Dharma.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement