REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menyusui bukan hanya persoalan kesehatan ibu dan anak, namun juga upaya mengurangi dampak perubahan iklim. Menurut Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Nia Umar, menyusui adalah praktik paling alami yang tidak menimbulkan limbah dan jejak karbon, berbanding terbalik dengan kompleksitas produksi susu formula yang menyumbang emisi dan sampah dalam jumlah besar.
Hal ini disampaikan Nia dalam rangka Pekan Menyusui Sedunia (World Breastfeeding Week) 2025 yang mengusung tema "Prioritaskan Menyusui". Tema ini menyoroti keterkaitan antara menyusui, keberlanjutan lingkungan, dan dampaknya terhadap perubahan iklim.
"Lingkungan yang mendukung menyusui tidak hanya akan bermanfaat untuk keluarga, tapi juga dapat membantu mengurangi dampak lingkungan yang terkait dengan pemberian makanan artifisial," kata Nia, dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Selasa pekan lalu (29/7/2025).
Nia memaparkan panjangnya rantai produksi susu formula yang berdampak langsung terhadap lingkungan. Proses dimulai dari peternakan sapi perah, pengumpulan susu, distribusi menggunakan chiller dan kendaraan, hingga pengolahan di pabrik yang membutuhkan bahan bakar dan menghasilkan limbah industri.
"Belum lagi dari susu cair diubah menjadi bubuk, dikemas dengan plastik, kaleng, atau kardus, lalu didistribusikan ke toko menggunakan truk, disimpan di rak atau lemari pendingin di supermarket. Itu semua menggunakan energi dan menghasilkan limbah," jelas Nia.
Tidak hanya itu, konsumen juga masih harus menggunakan kendaraan saat membeli susu formula, lalu menyeduhnya di rumah dengan air panas yang dimasak menggunakan bahan bakar gas atau listrik. Seluruh proses ini menciptakan jejak karbon berlapis.
Sebaliknya, menyusui tidak memerlukan rangkaian produksi tersebut. "Kalau menyusui, tinggal buka baju ibunya. Tidak ada proses yang mencemari, tidak ada bahan bakar, tidak ada limbah," kata Nia.
Menjelang Pekan Menyusui Dunia yang diperingati setiap 1-7 Agustus, AlMI mendorong kesadaran publik dan menekankan pentingnya dukungan dari berbagai pihak untuk menciptakan ekosistem menyusui yang kuat dan berkelanjutan. Nia juga menyerukan komitmen dari para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan sektor swasta.
"Kita ingin mengingatkan bahwa menyusui itu baik untuk lingkungan, bisa mengurangi dampak perubahan iklim, dan juga mengurangi konsumsi makanan ultraproses," kata Nia.
Menurutnya, jika masyarakat diberi dukungan dan fasilitas yang memadai, maka praktik menyusui bisa semakin luas dijalankan, bukan hanya sebagai hak ibu dan anak, tapi juga sebagai bagian dari aksi lingkungan.