REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifah Fauzi, mengatakan bahwa perkawinan usia anak menjadi salah satu penyebab tingginya kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga maupun lingkungan terdekat. "Perkawinan anak ini luar biasa dampaknya. Untuk menjadi orang tua, untuk membentuk sebuah keluarga, butuh kesiapan," kata Menteri PPPA Arifah Fauzi, Rabu (16/07/2025).
Menurut dia, untuk membina sebuah keluarga diperlukan proses pengenalan karakter dari masing-masing pasangan calon pengantin yang membutuhkan waktu lama. "Orang zaman sekarang baru kenal sebentar, lalu nikah, padahal pengenalan satu dengan yang lain butuh proses. Jangankan suami istri, yang bersaudara saja kecocokannya butuh bertahun-tahun. Jadi adaptasi dalam sebuah keluarga antara suami istri butuh waktu panjang," kata Arifah.
Dalam mengedukasi kesiapan calon pengantin, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama memiliki program bimbingan perkawinan bagi calon pengantin. "Diedukasi sebagai ibu perannya apa, sebagai bapak perannya apa, yang paling penting ada ketersalingan. Saling memahami, menghargai. Bukan satu lebih oke dari yang lain, tapi bersama-sama," kata Arifah.
Perkawinan usia anak memiliki dampak negatif yang luas. Selain risiko kekerasan dalam rumah tangga, perkawinan anak meningkatkan risiko kematian ibu dan bayi, bayi berisiko mengalami stunting dan berat badan lahir rendah, serta memicu masalah kesehatan mental.
Perkawinan anak juga berdampak pada anak kehilangan kesempatan melanjutkan pendidikan, melanggengkan kemiskinan, dan menurunkan kualitas sumber daya manusia.