REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perceraian akibat perbedaan pilihan politik dinilai merupakan masalah yang membutuhkan solusi komprehensif. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) memandang banyaknya pasangan suami istri yang bercerai akibat perbedaan pilihan politik adalah dampak dari masih mengakarnya budaya patriarki pada masyarakat Indonesia.
"Seharusnya perbedaan ini tidak perlu berakibat perceraian, jika suami/pasangan bisa menghargai pilihan politik istrinya," kata Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan KPPA Eni Widiyanti saat dihubungi di Jakarta, Jumat (22/11/2024).
Menurut dia, mayoritas perempuan tidak memiliki keberanian untuk mempunyai pilihan politik yang berbeda dengan suaminya. "Dalam budaya patriarki yang masih sangat kuat di Indonesia, mayoritas perempuan tidak memiliki keberanian untuk mempunyai pilihan politik yang berbeda dengan suaminya," kata Eni.
Dia mengatakan ada banyak dampak negatif perceraian terhadap tumbuh kembang anak. "Mengingat budaya patriarki kita masih sangat kuat, ada kemungkinan angka perceraian akan semakin meningkat, yang tentu saja akan berdampak negatif pada tumbuh kembang anak-anaknya," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengungkapkan ada provinsi yang mencatatkan 500 perceraian akibat perbedaan pilihan politik. Menag Nasaruddin Umar menekankan pentingnya kajian lebih lanjut mengenai data perceraian yang meningkat.
"Perceraian karena politik juga besar. Ada satu provinsi, terjadi 500 perceraian gara-gara politik. Suaminya milih si A, istrinya milih si B, cerai. Begitu rapuhnya sebuah perkawinan," kata Nasaruddin Umar.