Senin 18 Nov 2024 17:01 WIB

Psikiater Beberkan Tips Cegah Kecanduan Judi Online untuk Anak-Anak

Saat transaksi awal, peserta judi online akan dibuat menang.

Warga melihat iklan judi online melalui gawainya (ilustrasi). Menurut psikiater, pentingnya literasi terkait bahaya judi daring (online) sejak dini.
Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Warga melihat iklan judi online melalui gawainya (ilustrasi). Menurut psikiater, pentingnya literasi terkait bahaya judi daring (online) sejak dini.

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Kemajuan teknologi dinilai membuka peluang munculnya berbagai masalah sosial, salah satunya adalah maraknya judi daring. Dokter spesialis kedokteran jiwa (SpKJ) Made Wedastra menekankan pentingnya literasi terkait bahaya judi daring (online) sejak dini yakni mulai pelajar sekolah dasar dan remaja untuk mencegah kecanduan yang dapat menyebabkan gangguan mental.

“Untuk pencegahan bagi yang belum tersentuh judi online dengan menyediakan informasi dan pemahaman terkait judi online,” kata psikiater dr Made Wedastra SpKJ di Denpasar, Bali, Senin (18/11/2024).

Baca Juga

Psikiater Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Bali di Kabupaten Bangli itu mengungkapkan masyarakat khususnya generasi muda sejak usia dini perlu diberikan pemahaman bahwa judi online menawarkan iming-iming hadiah yang besar. Saat transaksi awal, peserta judi online akan dibuat menang untuk menarik lebih banyak peserta sehingga mereka akan bertaruh lagi dan lagi.

Meski hasil yang tidak seberapa, namun kegiatan berulang itu akan membuat seseorang menjadi kecanduan dan bisa berdampak terhadap gangguan kejiwaan atau mental berupa kecemasan terutama obsesif kompulsif (OCD) dan depresi. Dokter SpKJ jebolan Universitas Udayana (Unud) Denpasar itu menambahkan seseorang bisa terjerat judi online yang dipengaruhi oleh beragam faktor diri sendiri (internal) atau eksternal dari lingkungan.

Secara internal, kata dia, kepribadian narsistik, histrionik, dan dependen adalah seseorang yang berpotensi mudah jatuh ke iming-iming judi online. “Narsistik itu merasa diri pintar dan mampu, jadi judi dijadikan ajang buat menonjolkan diri, kemudian histrionik itu suka mencari perhatian dengan penampilan yang berlebih. Untuk menunjang penampilannya maka dia bisa melakukan judi dan dependen atau mereka terlalu tergantung dengan orang lain,” ujarnya.

Sedangkan dari sisi eksternal yakni lingkungan dan pola asuh juga berperan besar membuat orang terjerumus judi karena pola asuh yang suka membandingkan akan membuat anak tumbuh rapuh secara psikologis. Sehingga, membuat anak tidak memiliki norma yang kuat dalam dirinya atau super ego yang hanya mengikuti apa yang menurutnya benar dan salah satunya melalui judi online karena bisa menghasilkan uang cepat.

Faktor stres, imbuhnya, juga berperan khususnya mereka yang kehilangan pekerjaan dan memiliki utang sehingga berpikir cara instan dengan judi online. Made Wedastra menjelaskan penanganan korban judi online melalui terapi obat dan nonobat atau psikoterapi.

Ia menjelaskan terapi obat diberikan menggunakan obat antipsikotik generasi kedua untuk mengurangi kadar dopamin atau antidepresan. Ada pun penanganan korban judi online mirip dengan ketergantungan narkotika (napza) yang secara biologi di dalam tubuh pecandu terjadi peningkatan dopamin di nukleus akumben atau pusat kenikmatan di otak sehingga orang yang menjalani makin suka dan makin gembira melakukan judi.

Sedangkan terapi non obat dilakukan dengan terapi perilaku yakni dengan menyetop semua media atau apapun yang berkaitan dengan judi online. Kemudian terapi kognitif perilaku yakni dengan menanamkan pemahaman baru tentang judi online dengan mencermati dua sisi negatif dan positif.

“Biarkan dia melihat apa sisi negatif dari judi online itu sehingga dia paham dan kami berikan pemahaman baru yang baik tentang judi online yang akan dia ingat selamanya. Dengan pemahaman yang baik, perilaku juga berubah sehingga dia menjauhi judi online,” ucapnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar menyebutkan judi online menjadi bencana sosial karena diperkirakan sebanyak 8,8 juta orang menjadi korban atau pelaku.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement