Kamis 10 Oct 2024 16:12 WIB

Bahaya Doom Spending yang Perlu Diketahui, Begini Cara Mencegahnya

Doom spending dinilai berdampak buruk pada keuangan dan kesehatan mental.

Rep: Antara/ Red: Qommarria Rostanti
Doom spending (ilustrasi). Doom spending merupakan kebiasaan belanja yang berlebihan sebagai bentuk pelarian dari emosi negatif seperti stres, kecemasan, atau kesepian.
Foto: Mgrol101
Doom spending (ilustrasi). Doom spending merupakan kebiasaan belanja yang berlebihan sebagai bentuk pelarian dari emosi negatif seperti stres, kecemasan, atau kesepian.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernahkah Anda merasa sangat ingin membeli sesuatu, bahkan barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan, hanya untuk menghilangkan perasaan sedih, bosan, atau stres? Jika iya, Anda mungkin pernah mengalami yang namanya doom spending.

Doom spending merupakan kebiasaan belanja yang berlebihan sebagai bentuk pelarian dari emosi negatif seperti stres, kecemasan, atau kesepian. Meskipun pada awalnya memberikan rasa senang sesaat, namun pada akhirnya kebiasaan ini dapat berdampak buruk pada keuangan dan kesehatan mental.

Baca Juga

Psikolog mengingatkan perilaku doom spending atau belanja berlebihan bisa membahayakan kalau segera tidak disadari dan diatasi. Menurut psikolog Novi Poespita Candra, S.Psi., M.Si., Ph.D. dari Universitas Gadjah Mada, orang yang melakukan doom spending biasanya sedang stres, cemas, bosan, atau kesepian.

"Doom spending jika tidak disadari maka akan sangat berbahaya. Orang yang mengalami doom spending biasanya sedang mengalami stres, kecemasan, kebosanan, atau bahkan kesepian," ujarnya pada Kamis (10/10/2024).

Menurut dia, orang yang berbelanja secara impulsif dan berlebihan biasanya ingin mendapatkan kebahagiaan dengan mencari kesenangan atau kepuasan sementara. Orang yang demikian mungkin menjadikan kesenangan dari perilaku yang demikian sebagai penutup rasa sakit atau masalah yang sedang dihadapi.

Namun, kondisi ini juga bisa membuat orang ingin terus melakukan tindakan-tindakan yang membuat mereka sedang dan merasakan kepuasan. Oleh karena itu, Novi menyarankan orang yang terindikasi melakukan doom spending berusaha melatih diri untuk menemukan kebahagiaan dan ketenangan dengan cara yang sehat.

"Manusia yang bahagia bukan yang selalu senang, tapi yang punya kecerdasan memaknai dengan positif setiap peristiwa, baik senang ataupun sedih," kata Novi.

Novi menyampaikan kebahagiaan bisa hadir saat melakukan hal baru atau mempelajari hal baru. Pencapaian dalam melakukan aktivitas dan kegiatan pembelajaran baru bisa menghadirkan kebahagiaan.

Menurut dia, interaksi dan hubungan baik dengan keluarga dan teman serta kegiatan sosial juga bisa mendatangkan kebahagiaan. Kesenangan dan kepuasan yang hadir secara alami melalui kegiatan-kegiatan semacam itu akan lebih bermakna.

"Jika manusia bisa menemukan kebahagiaan sejati dengan kesadaran diri maka ia tidak akan mencari kesenangan dengan cara mengejar kehedonan dengan dopamine hit," kata Novi.

Dopamine adalah neurotransmitter, yang mengirimkan pesan dari satu sel syaraf ke sel syaraf yang lain. Peran senyawa kimia ini dalam fungsi otak mencakup kontrol gerakan, emosi, pembelajaran, memori, dan penyelesaian masalah.

Kadar dopamine yang tinggi dapat menyebabkan kesulitan dalam mengendalikan impuls. Akibatnya, seseorang mungkin mengambil tindakan yang kemudian disesali atau melakukan tindakan agresif.

Psikolog klinis lulusan Universitas Indonesia Dra A Kasandra Putranto menyampaikan bahwa tampilan iklan dan konten di platform media sosial dapat memicu perilaku konsumtif. "Platform e-commerce dan iklan digital dapat mendorong konsumerisme digital," kata Kasandra.

Dia menyebut perlunya mengenali pemicu emosional yang membuat orang berbelanja secara impulsif dan berlebihan, termasuk membeli barang atau jasa yang sebenarnya tidak diperlukan. Untuk mencegah perilaku belanja yang impulsif dan berlebihan, kata dia, orang juga perlu menetapkan batasan dan prioritas pengeluaran serta mencari cara untuk mengelola stres dan emosi.

"Tetapkan batasan pengeluaran berdasarkan prioritas dan pastikan memiliki dana darurat untuk menghadapi situasi yang tidak terduga," katanya.

"Cari bantuan profesional jika merasa tidak bisa mengelola stres dan emosi diri sendiri," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement