REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat diminta mewaspadai virus Mpox atau cacar monyet yang kini mulai menyebar di Indonesia. Menurut pakar epidemiologi Universitas Airlangga, dr Kurnia Dwi Artanti, virus Mpox yang terdeteksi di Indonesia termasuk dalam varian IIb, yang bisa menyebar antarmanusia melalui kontak langsung cairan tubuh atau lesi.
“Perlu waspada terutama karena pola penyebaran Mpox itu menunjukkan gejala yang mirip dengan cacar biasa. Misalnya demam tinggi, ruam kulit yang khas, dan pembengkakan kelenjar getah bening,” kata dr Kurnia dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (31/8/2024).
Ia menjelaskan ruam yang muncul umumnya melalui wajah, lalu menyebar ke seluruh tubuh. Meskipun begitu, perlu pemeriksaan spesifik untuk memastikan infeksi Mpox karena virus ini bersifat self-limited, yang artinya dapat sembuh dengan sendirinya jika sistem imun tubuh dalam kondisi prima
Hingga pertengahan Agustus, Kementerian Kesehatan RI melaporkan 88 kasus konfirmasi Mpox di berbagai daerah.
Menanggapi kondisi ini, Kurnia menekankan pentingnya status PHEIC dalam meningkatkan kewaspadaan penyebaran virus. PHEIC merupakan status yang menunjukkan tingkat keparahan situasi global.
“WHO menetapkan status ini karena melihat persebaran penyakit yang semakin luas. Ada beberapa kriteria yang dipertimbangkan, seperti penilaian risiko global yang jika tidak segera diantisipasi dapat menyebabkan penyebaran yang lebih luas. Selain itu, respons dan dukungan dari negara-negara anggota WHO juga menjadi faktor penting dalam mengendalikan penyakit ini,” kata Kurnia.
Kurnia juga menyarankan strategi pencegahan yang efektif untuk mengurangi penyebaran Mpox di Indonesia. Upaya mencegah transmisi virus Mpox, jelas Kurnia, dengan meningkatkan kesadaran diri pada masyarakat serta isolasi bagi individu yang terpapar.
Mencegah penularan Mpox juga sangat bergantung pada kebersihan diri. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir setelah beraktivitas di tempat umum serta menggunakan masker dapat menjadi benteng pertahanan efektif.
“Selain itu, WHO dan CDC merekomendasikan pemberian vaksin diprioritaskan terutama pada petugas laboratorium, tenaga kesehatan di RS rujukan dan populasi berisiko,” kata Kurnia.