Kamis 22 Aug 2024 18:55 WIB

Overtourism: Ketika Wisatawan Justru Menjadi Beban

Membanjirnya wisatawan tidak jarang memberikan beban terhadap masyarakat.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Sejumlah turis asing mengendarai sepeda motor tanpa mengenakan helm di Jalan Sunset Road, Kuta, Badung, Bali, Selasa (28/2/2023).
Foto: Antara/Nyoman Hendra Wibowo
Sejumlah turis asing mengendarai sepeda motor tanpa mengenakan helm di Jalan Sunset Road, Kuta, Badung, Bali, Selasa (28/2/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa hari terakhir ribuan orang Spanyol turun ke jalan. Warga Lisbon, Portugal juga mengeluh. Masyarakat dua negara Eropa itu merasa kewalahan dengan membanjirnya wisatawan di pemukiman mereka.

Sejumlah kota wisata di Eropa mengalami apa yang disebut overtourism. Pariwisata memang salah satu sektor pendorong pertumbuhan ekonomi, tapi tidak jarang memberikan beban terhadap masyarakat setempat. Dikutip dari Euro News, di Barcelona, Spanyol, muncul gerakan menyiram turis dengan air dan jalur bus yang padat dihapus dari Google Maps untuk disembunyikan dari wisatawan. Pemerintah setempat juga menaikkan pajak bagi wisatawan dan berjanji menghapus Airbnb.

Dosen program pendidikan vokasi Pariwisata Universitas Indonesia Febrian menjelaskan, bisnis pariwisata memang sangat menjanjikan, namun juga bagaikan pedang bermata dua. Ini seperti yang terjadi di beberapa destinasi ketika terjadi overtourism atau penumpukan wisatawan pada destinasi tertentu saja.

"Overtourism biasa terjadi karena jumlah wisatawan yang melebihi carrying capacity atau jumlah wisatawan yang ideal," kata Febrian kepada Republika.

Ia mengatakan selain peran media sosial yang memicu ledakan jumlah turis di sejumlah destinasi, beberapa destinasi juga hanya memikirkan keuntungan tanpa memahami berapa kapasitas yang mampu mereka tampung dan akomodir.

Febrian mengatakan secara garis besar dampak negatif overtourism telah didefinisikan Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO), antara lain, perusakan atau degradasi lingkungan, fisik, ekonomi, dan sosio-kultural. "Dan juga pelanggaran hukum seperti yang telah terjadi di Bali banyak wisatawan yang justru mengambil alih profesi menjadi guide ataupun berdiam di sana walau hanya bermodal visa turis," kata Febrian.  

Febrian mengatakan apa yang dilakukan di Indonesia dengan menciptakan destinasi super prioritas dengan penggunaan nama “Bali baru” merupakan langkah agar tidak terjadi overtourism di destinasi tertentu saja.

Ia menjelaskan, pemahaman mengenai niche tourism atau pariwisata minat khusus juga harus lebih dikedepankan atau ditingkatkan promosinya karena dengan banyaknya variasi wisata minat khusus dapat mengurai kerumunan wisatawan agar menghindari overtourism. "Sayangnya pembangunan yang belum merata terutama terkait amenities dan accessibility membuat beberapa destinasi seakan dianaktirikan," kata Febrian.

Ia menambahkan Indonesia yang kaya akan keindahan alam dan budaya idealnya dapat mengambil ceruk pariwisata minat khusus tersebut yang pada akhirnya akan membantu destinasi berkelanjutan karena budaya setempat pastilah memiliki pandangan dan kearifan lokal mengelola lingkungan sekitar mereka.

"Manifestasi budaya inilah yang kemudian dapat dikemas sebagai sebuah atraksi di dalam destinasi bukan malah melakukan gentrifikasi dengan mengusir masyarakat setempat demi pembangunan destinasi baru," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement