REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengetatan regulasi terkait susu formula bayi dan produk pengganti air susu ibu (ASI) lainnya menuai perdebatan publik. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, melarang produsen dan distributor susu formula bayi serta produk pengganti ASI lainnya untuk melakukan kegiatan yang dapat menghambat pemberian ASI eksklusif.
Larangan ini mencakup pemberian sampel gratis, penawaran kerja sama kepada fasilitas kesehatan, pemberian potongan harga, hingga promosi melalui media massa dan media sosial.
Di satu sisi, peraturan tersebut diharapkan dapat mendukung program ASI eksklusif. Sebab, keberadaaan susu formula selama ini kerap dituding sebagai penyebab gagalnya ASI ekslusif.
Namun, di sisi lain, peraturan ini justru memicu kekhawatiran publik, terutama para ibu. Pasalnya tidak semua ibu bisa memberikan ASI eksklusif bagi buah hatinya.
Pengamat Sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawati mengakui masih banyak kesalahpemahaman terjadi di masyarakat. Ia menyebut, konsumsi susu untuk masa pertumbuhan anak perlu di dorong, namun sebelumnya masyarakat harus paham susu apa yang boleh dan tidak boleh untuk anak.
Kental manis misalnya. Susu yang seharusnya hanya digunakan sebagai bahan tambahan dalam makanan ini hingga saat ini masih banyak digunakan sebagai minuman susu untuk anak. Penyebabnya adalah kesalahan turun-temurun yang diwariskan dari generasi terdahulu kepada saat ini tanpa adanya koreksi.
“Nenek saya, ibu saya, tetangga saya, tante saya begitu semua. Nah ini yang kemudian jadi rujukan bahwa itu adalah hal yang baik-baik saja,” kata Devie, dikutip dari siaran pers, Senin (19/8/2024).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat adalah melalui edukasi gizi dan mendorong pemberian ASI ekslusif. Meski demikian, ada ibu-ibu yang karena faktor tertentu tidak dapat memberikan ASI untuk anak, sehingga susu formula yang sesuai dengan usia anak adalah langkah yang dapat ditempuh.
“Kalau memang kondisi fisiknya atau fisiologisnya memang tidak mampu maka baru diperkenankan memberi susu formula,” kata Devie.
Devie menegaskan, informasi dan edukasi penting agar semua ibu tetap bisa memberikan yang terbaik bagi anaknya dari segi gizi.
Terbitnya aturan tersebut membuat Rosa, ibu satu anak asal Depok kuatir dengan kenaikan harga susu. “Harga susu itu sudah mahal, selama ini kita sangat terbantu dengan promosi dan diskon. Sekarang malah tidak ada lagi diskon untuk susu, sementara anak saya butuh susu tambahan, hanya mengandalkan ASI saja tidak cukup, sementara saya juga tulang punggung keluarga,” ujar Rosa.
Atikah asal Bekasi menambahkan, tidak semua ibu mampu memberikan ASI secara penuh. “Tidak semua ibu seberuntung itu. Banyak yang ASI-nya terputus dengan berbagai alasan, dan mau tidak mau mereka harus kasih susu tambahan untuk anak,” kata dia.
Atikah berharap peraturan tersebut tidak justru membuat ibu yang kesulitan memberi ASI menjadi terpuruk.
Di media sosial, PP No 28 ini juga memicu perdebatan publik. Sebagian besar warganet yang mendukung beralasan kesulitan dalam memberi ASI dapat diatasi dengan usaha yang dilakukan oleh ibu dan juga konsultasi dengan konsultan laktasi. Masalahnya tidak semua ibu memiliki akses terhadap konselor laktasi.
Perdebatan ini menunjukkan kebijakan terkait ASI dan susu formula memang memerlukan pendekatan yang lebih inklusif dan mempertimbangkan berbagai faktor. Termasuk kondisi kesehatan ibu dan kebutuhan bayi yang berbeda-beda.