Rabu 14 Aug 2024 16:55 WIB

Bertahan dengan Pelaku KDRT Dinilai Berdampak Buruk ke Mental Anak

Selebgram Cut Intan Nabila sempat memilih bertahan meskipun mengalami KDRT demi anak.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
tangkapan layar video selebgram Cut Intan Nabila diduga jadi korban KDRT. Menurut psikolog,  bertahan dalam rumah tangga yang penuh kekerasan dapat berdampak buruk pada psikologis anak.
Foto: Tangkapan layar akun IG @cut.intannabila
tangkapan layar video selebgram Cut Intan Nabila diduga jadi korban KDRT. Menurut psikolog, bertahan dalam rumah tangga yang penuh kekerasan dapat berdampak buruk pada psikologis anak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog dari Insight Psikologi, Alfa Restu Mardhika, memberikan pandangannya terkait kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami Cut Intan Nabila. Selebgram asal Aceh tersebut menjadi korban KDRT oleh suaminya, Armor Toreador, selama beberapa kali dalam lima tahun pernikahan dan sempat memilih bertahan demi anak.

Alfa mengatakan banyak korban KDRT yang enggan melaporkan kekerasan atau bercerai demi menjaga kebahagiaan anak. Mereka biasanya khawatir jika bercerai, anak-anak mereka tidak akan mendapatkan kebahagiaan yang seharusnya karena tumbuh tanpa orang tua yang lengkap.

Baca Juga

“Korban sering kali merasa takut dengan pandangan masyarakat yang menganggap perceraian sebagai aib, terutama jika ada anak-anak dalam keluarga. Pada akhirnya korban akan memilih tetap bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan demi anak,” kata Alfa, saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (14/8/2024).

Namun, Alfa menegaskan bertahan dalam rumah tangga yang penuh kekerasan dapat berdampak buruk pada psikologis anak. Apalagi, jika berkaca pada kasus Cut Intan Nabila, di mana pelaku melakukan kekerasan di hadapan anaknya sendiri.

“Kekerasan yang terjadi di depan anak, walaupun dia masih kecil, itu dapat terekam dalam ingatan mereka dan bisa menimbulkan luka psikologis yang dalam. Ini sangat berbahaya untuk perkembangan anak di masa depan,” kata alumni Psikologi Universitas Indonesia tersebut.

Alfa juga menyoroti bahwa harapan agar pelaku KDRT dapat berubah sering kali tidak realistis, terutama jika pelaku belum benar-benar menyadari kesalahannya. “Yang perlu digaris bawahi adalah pelaku KDRT enggak akan berubah kalau dia belum sadar dengan kesalahannya,” ujar Alfa.

Dalam menangani KDRT, Alfa juga menekankan pentingnya menetapkan batasan atau boundary yang jelas dalam hubungan rumah tangga. Misalnya, ketika terjadi KDRT untuk pertama kali, pelaku biasanya akan meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Jika korban memilih untuk memberi kesempatan kedua, maka korban harus menyatakan bahwa jika terjadi kekerasan untuk kedua kalinya maka itu sudah melewati batasan dan perlu dilaporkan.

“Setiap pasangan harus menetapkan batasan yang ideal sesuai dengan kebutuhan mereka. Biasanya setelah melakukan KDRT pelaku akan minta maaf dan memberi janji-janji. Nah, saat pembahasan janji itu, korban harus punya batasan. Misal kalau terjadi lagi ya itu sudah melewati batas. Karena jika dibatasi seperti itu, maka akan menjadi siklus kekerasan,” kata Alfa.

Ia juga memperingatkan bahwa KDRT dalam bentuk fisik bisa sangat berbahaya dan bahkan bisa berujung pada kematian jika tidak ditangani dengan serius. Karena dia meminta agar korban KDRT jangan pernah takut untuk melaporkan pasangannya.

“Ketika pasangan sudah berani melakukan kekerasan fisik, itu harus menjadi perhatian banget. Karena bisa jadi kekerasan itu membuat korban meninggal. Makanya kita sebagai perempuan, ataupun laki-laki ya, harus bisa mengutamakan keselamatan diri sendiri dari pasangan toksik,” kata Alfa.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement