Jumat 09 Aug 2024 17:49 WIB

Studi: Konsumsi Minuman Manis pada Anak Meningkat Pesat Sejak 1990

Tren kenaikan minuman manis anak terjadi di seluruh dunia.  

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Indira Rezkisari
Anak membeli jajanan minuman berasa di Jakarta, Selasa (28/2/2023). Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat terdapat 1.645 anak di Indonesia yang menderita diabetes pada Januari 2023 atau meningkat 70 kali lipat sejak tahun 2010. Salah satu faktor pemicu itu adalah karena  jajanan manis yang sering dikonsumsi anak. Perlunya pendampingan dan pengawasan  orang tua terhadap anak untuk menjaga pola makan yang sehat dengan pembatasan konsumsi gula.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Anak membeli jajanan minuman berasa di Jakarta, Selasa (28/2/2023). Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat terdapat 1.645 anak di Indonesia yang menderita diabetes pada Januari 2023 atau meningkat 70 kali lipat sejak tahun 2010. Salah satu faktor pemicu itu adalah karena jajanan manis yang sering dikonsumsi anak. Perlunya pendampingan dan pengawasan orang tua terhadap anak untuk menjaga pola makan yang sehat dengan pembatasan konsumsi gula.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Konsumsi minuman soda dan minuman manis lainnya pada anak di berbagai belahan dunia terus meningkat sejak tiga dekade lalu, demikian menurut studi yang dipublikasikan di The BMJ. Obesitas pada anak juga meningkat secara bersamaan selama periode waktu tersebut, dan mempengaruhi sekitar 160 juta anak dan remaja di seluruh dunia.

Pada tahun 2018, anak-anak mengonsumsi rata-rata 3,6 porsi minuman manis per pekan, meningkat 22,9 persen dari tahun 1990 dan peningkatan yang jauh lebih tajam dibandingkan dengan orang dewasa. Studi ini yang mencakup 185 negara ini dipimpin oleh para peneliti di Amerika Serikat, Yunani, Kanada, dan Meksiko.

Baca Juga

Menurut studi tersebut, konsumsi tertinggi minuman manis pada anak terjadi di Amerika Latin, Timur Tengah, dan Afrika Utara.

"Temuan kami seharusnya menjadi peringatan bagi hampir semua negara di seluruh dunia," ujar Dariush Mozaffarian, penulis senior studi dan direktur Food is Medicine Institute di Tufts University di Amerika Serikat, dilansir Euronews, Jumat (9/8/2024).

Para peneliti mengamati minuman berpemanis (sugar-sweetened beverages/SSBs), yang meliputi soda, minuman berenergi, minuman buah yang tidak termasuk jus buah dan sayur 100 persen, minuman berpemanis buatan non-kalori, serta susu, teh, dan kopi yang ditambahkan pemanis. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa minuman berpemanis terkait dengan risiko obesitas yang lebih tinggi di kalangan anak muda, yang pada gilirannya terkait dengan lebih banyak masalah kesehatan selama masa dewasa termasuk diabetes tipe-2, penyakit jantung, dan kanker tertentu.

"Hal ini memiliki dampak yang signifikan untuk kesehatan individu, tidak hanya di masa kanak-kanak tetapi juga dalam jangka panjang, dan juga biaya kesehatan yang mahal bagi masyarakat," kata Dr Berthold Koletzko, seorang profesor pediatri di Ludwig Maximilian University of Munich, yang tidak terlibat dalam studi.

Dalam laporan baru tersebut, asupan minuman manis lebih tinggi di kalangan anak-anak yang lebih tua dan remaja dibandingkan di kalangan anak-anak yang lebih muda di seluruh dunia. Di sebagian besar wilayah, angka tersebut juga lebih tinggi di daerah perkotaan dan di kalangan anak-anak yang orang tuanya memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, meskipun kesenjangan ini tidak terjadi di negara-negara berpenghasilan tinggi.

Hal itu mungkin terjadi karena di negara-negara berpenghasilan rendah, orang-orang di perkotaan dan mereka yang berpendidikan tinggi memiliki lebih banyak uang dan cenderung memilih minuman manis. Sementara itu, di negara-negara berpenghasilan tinggi, yang terjadi adalah sebaliknya.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement