Musik latar Ajing seperti gema panjang, tapi bernada. Dengan latar demikian, suara mordun chaoer yang dimainkan Ajing tetap dominan.

Memang ada nuansa ketenangan ketika musik latar berpadu dengan permainan mordun chaoer Ajing yang menghasilkan nada-nada khas tradisional Cina. Pada awal permainannya, Ajing pun sempat bertanya apakah ada di antara penonton yang memiliki kebiasaan bermeditasi. Hanya ada beberapa orang mengangkat tangan.

Ajing kemudian mengajak penonton melakukan meditasi singkat. “Mari kita tarik napas dan memejamkan mata, mendengarkan angin, hujan, awan, serta kawanan domba dari padang rumput, dengan tulus percaya bahwa hal itu akan membawa berkah bagi kita dari 8.000 tahun yang lalu,” ucapnya.

Saya melihat ekspresi beberapa orang yang tampak benar-benar larut dengan komposisi musik Ajing. Ada pula beberapa penonton yang memperlihatkan ekspresi kelegaan setelah memejamkan mata dan menghela napas panjang dengan iringan tiupan mordun chaoer Ajing.

Selain mordun chaoer, pada konser di Beijing Language and Cultural Center for Diplomatic Mission, Ajing juga membawa alat musik tiup tradisional lainnya yang dikenal dengan nama “de”. De adalah alat musik milik kelompok etnis Wa.

De biasa digunakan dalam berbagai upacara, termasuk pernikahan dan pemakaman. Ajing membutuhkan waktu tiga tahun untuk menemukan pembuat de.

Saat memainkan de, Ajing kembali mengajak penonton membangun sebuah imaji di kepala. “Sambil mendengarkan, bayangkan diri Anda berada di sebuah lembah yang damai, terdapat sebuah kabin dan itu adalah rumah orang yang kita cintai,” ujarnya.

Selanjutnya...

Ikuti Whatsapp Channel Republika