REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Hasto Wardoyo menyoroti tingginya angka perceraian di Indonesia, yang dapat mengancam ketahanan keluarga.
"Kalau broken home tinggi, ketahanan keluarganya otomatis lemah, karena indeks pembangunan keluarga itu salah satunya ketenteraman. Kalau perceraian tinggi, ketenteramannya akan turun," ujar Hasto di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Ia juga mengkhawatirkan data perceraian yang semakin meningkat sejak 2020. "Hari ini banyak keluarga yang bagus, tetapi juga banyak yang kurang bagus, karena perceraian di tahun 2020 ke atas, angkanya lebih dari 500 ribu kasus per tahun," kata dia.
Hasto menjelaskan, ada tiga indikator dalam ketahanan keluarga, yakni tenteram, mandiri, dan bahagia. Jika perceraian meningkat, maka indikator pertama yakni ketenteraman dapat terancam.
"Kalau banyak perceraian, tenteramnya turun, jadi indeks pembangunan keluarga bisa turun kalau banyak perceraian. Sedangkan dampak terhadap keluarga sendiri, broken home kan kalau orang tuanya cerai, anaknya tidak akan terurus dengan baik, pengasuhan (parenting) tidak bagus. Sedangkan salah satu penyebab stunting karena anak tidak happy, makanan juga enggak bagus," tutur dia.
Sebelumnya, Hasto juga menyebutkan bahwa konflik rumah tangga mesti diselesaikan dengan perasaan, tidak hanya dengan logika. Menyelesaikan konflik keluarga hanya dengan logika itu berat.
"Hasilnya pasti kacau. Selesaikan masalah keluarga juga harus dengan perasaan," kata dia.
Dokter spesialis kandungan ini juga menegaskan sebelum orang tua membahas tentang anak atau mendidik anak, penting untuk mengomunikasikan perasaan satu sama lain. Oleh karena itu, sebelum menyentuh masalah anak, para orang tua juga perlu belajar menyampaikan komunikasi satu sama lain. Sebagai kepala rumah tangga, suami harus lebih dewasa, bisa menahan emosi, dan istri juga harus bisa memaklumi.