REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi mengatakan bahwa program nyamuk ber-wolbachia yang digunakan untuk mengatasi demam berdarah dengue kini diimplementasikan di enam kota.
"Jadi ada lima kota yang sudah jalan dan satu lagi Denpasar," ujar Imran dalam gelar wicara #Ayo3mplusvaksinDBD di Jakarta, Kamis (21/3/2024).
Selain Denpasar, kota- kota tersebut adalah Semarang, Bandung, Jakarta Barat, Bontang, dan Kupang.
Wolbachia adalah bakteri alami pada 60 persen serangga, dan dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti, dapat menurunkan replikasi virus dengue, sehingga dapat mengurangi kemampuan nyamuk itu dalam menularkan demam berdarah.
Dia menjelaskan bahwa penelitian tentang wolbachia telah dilakukan berbagai negara oleh berbagai ahli, dan berbagai diskusi ilmiah menjelaskan bahwa penggunaan bakteri tersebut aman.
Menurutnya, partisipasi dan dukungan masyarakat mengenai wolbachia masih rendah karena minimnya informasi serta banyaknya hoaks yang beredar.
Dalam kesempatan itu dia meminta media massa untuk turut menyebarkan informasi yang benar mengenai program tersebut guna mengedukasi masyarakat.
Dia menilai selain inovasi berupa nyamuk ber-wolbachia, perlu inovasi yang lain guna menanggulangi penyakit itu, contohnya vaksin untuk dengue.
Sejauh ini, kata dia, terdapat dua vaksin, yaitu Dengvaxia yang diberikan pada anak berusia 9-16 tahun, namun perlu skrining awal status serologi terlebih dahulu.
"Sedangkan yang vaksin Qdenga itu rentangnya bisa lebih lebar, usianya sampai 45 tahun, diberikan dosisnya dua kali dan tanpa skrining awal," katanya.
Imran menyebutkan bahwa vaksin dengue tersebut telah masuk program daerah meski secara terbatas, contohnya Kalimantan Timur pada tahun lalu.
"Jadi untuk anak-anak usia sekolah, usia ini kelas 3, 4, dan 6 itu di kota Balikpapan," katanya.
Dalam kesempatan itu dia menggarisbawahi bahwa demam berdarah dengue masih menjadi masalah kesehatan, dan masih menjadi beban yang cukup tinggi dan sering menimbulkan kejadian luar biasa serta kematian, baik di dunia maupun di Indonesia.
Dia mengutip WHO, yang menyebutkan bahwa 3,9 miliar orang dari 128 negara berisiko terkena DBD. Adapun lebih 100 dari negara tersebut adalah negara endemis, dan mayoritas berada di Afrika, Asia dan Amerika Latin.