REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT), Syifa Fauzia menanggapi banyaknya kasus bunuh diri sepanjang 2023. Untuk diketahui sejak Januari hingga 18 Oktober 2023 ada 971 kasus bunuh diri di Indonesia, di antaranya ada remaja dan mahasiswa yang melakukan tindakan bunuh diri.
Syifa mengatakan, maraknya kasus bunuh diri berarti ada ketidakseimbangan mental, iman dan fisik. Jika ada mahasiswa melakukan bunuh diri, mungkin dia sedang merasa ada beban yang berat dan tidak kondusif di rumah.
Mungkin di lingkungan universitasnya dan pertemanannya juga ada sesuatu tidak beres, sehingga menjadi beban dan tidak kondusif bagi dirinya. Syifa menambahkan, kasus bunuh diri yang dilakukan mahasiswa juga mungkin terjadi karena orang tua kurang memberikan waktu atau perhatian kepadanya.
Juga mungkin karena hilangnya kesempatan pengajaran Islam ataupun pengajaran agama dari orang tua. Sehingga si anak tidak mempunyai pegangan hidup. "Ataupun misalnya mereka belajar agama atau belajar Islam tetapi tidak dicontohkan pada kehidupan di sekelilingnya, sehingga pada saat ditimpa atau pada saat diberikan ujian oleh Allah SWT terasa seperti tidak ada pegangan," kata Syifa kepada Republika, akhir pekan lalu.
Syifa mengatakan, jadi bagaimana sebaiknya orang tua mendidik anak, tentunya dengan memberikan pendidikan agama. Orang tua harus menjadi contoh menjalankan ajaran agama dan dapat dijadikan panutan oleh anak-anaknya.
Orang tua juga harus mengajarkan tauhid dan keimanan kepada anak-anaknya. Mulai dari, kebiasaan sampai esensi atau makna ibadah harus diajarkan ke anak-anak.
Syifa juga mengingatkan, orang tua harus dekat atau memberikan waktunya kepada anak-anak. Supaya orang tua tau apa yang anaknya kerjakan dan lakukan. Supaya orang tua tau anaknya berteman dengan siapa dan menghabiskan waktunya untuk apa.
"Nah itu yang saya rasa bisa kita lakukan sebagai orang tua untuk mencegah anak-anak berpikiran seperti ini bunuh diri," ujar Syifa. Ia menambahkan, semua hal harus dilihat dari segala aspek.
Apakah anak-anak atau mahasiswa itu dapat mengeluarkan isi hatinya, emosinya dan pikirannya atau mereka malah memendam isi hatinya, emosinya dan pikirannya. Jika dipendam isi hatinya, emosinya dan pikirannya, biasanya itu menimbulkan sikap tidak mau berbagi isi hatinya, emosinya dan pikirannya.
Karena tidak mau berbagi isi hatinya, emosinya dan pikirannya. Kadang-kadang pada saat menghadapi satu masalah dan menemukan rasa putus asa, mungkin akan terlintas dalam pikiran bahwa tidak ada cara lain selain mengakhiri hidup.
"Tapi, kalau mereka bisa curhat mengeluarkan isi pikirannya, berbagi kepada teman, kerabat dan orang terdekat, mereka akan merasa lebih ringan apa yang mereka rasakan," ujar Syifa.
Syifa mengatakan, mungkin dengan berbagi isi hati dan pikiran kepada lawan bicaranya, dia tidak mendapatkan solusi. Tapi, setidaknya dia bisa menjadi lebih lega dengan mengungkapkan isi hati dan pikirannya.
"Menurut saya lingkaran pertemanan, keluarga, adik, kakak, saudara, kerabat, keluarga itu penting banget untuk saling memberikan perhatian satu sama lain, dalam hal menanyakan kabar, sekedar menyapa, telepon, silaturahim itu penting sekali, membangun rasa empati dan kebersamaan," ujarnya.
Syifa mengatakan, setiap masalah yang datang tidak harus diselesaikan sendiri oleh si anak. Tapi, si anak berbagi atau bertukar pikiran dengan anggota keluarganya.