REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baik secara langsung maupun tidak langsung, puasa dapat berdampak positif pada pencegahan beberapa kondisi medis. Puasa diartikan sebagai berpantang makanan, minuman, atau berpantang keduanya dalam jangka waktu tertentu.
Ada beberapa jenis puasa yang dikenal di ranah nutrisi. Disebut puasa absolut atau mutlak jika seseorang tidak makan atau minum sama sekali dalam waktu singkat. Ada juga puasa air, yaitu tidak minum untuk sementara waktu. Kalau pun minum, tetapi tidak berlebihan.
Sementara, puasa jus yang juga dikenal sebagai pembersihan atau detoksifikasi jus biasanya melibatkan asupan eksklusif jus buah dan sayuran. Yang juga populer adalah puasa intermiten, yakni pola makan yang berputar antara periode makan dan periode puasa.
Ahli gizi Alina Petre mengatakan, meskipun ada banyak bentuk puasa, sebagian besar penelitian tentang puasa dan sistem kekebalan tubuh secara khusus mengamati puasa intermiten dan puasa absolut. Berdasarkan studi, puasa ditengarai baik untuk sistem kekebalan tubuh.
"Puasa memaksa tubuh mengandalkan simpanan energi untuk mempertahankan fungsi normalnya. Sumber energi utama tubuh adalah glukosa, yang ditemukan bersirkulasi dalam darah dan juga disimpan sebagai glikogen di hati dan otot," ujar Petre, dikutip dari laman Healthline, Senin (27/11/2023).
Setelah glikogen habis, yang biasanya terjadi setelah 24-48 jam setelah puasa, tubuh mulai menggunakan lemak dan, pada tingkat lebih rendah, asam amino untuk energi. Lemak tubuh yang tersimpan dapat dipecah menjadi asam lemak, yang digunakan sebagai sumber bahan bakar dalam proses yang disebut lipolisis.
Kemudian, asam lemak dapat dimetabolisme untuk menghasilkan produk sampingan yang disebut keton, yang dapat digunakan tubuh dan otak sebagai sumber energi. Secara khusus, keton primer beta-hidroksibutirat mungkin bermanfaat bagi sistem kekebalan tubuh.
Peneliti belum sepenuhnya memahami cara kerjanya. Namun, salah satu pemikirannya adalah menekan peradangan berlebih dan stres oksidatif yang disebabkan oleh inflamasi seperti NLRP3, yang merupakan bagian dari sistem kekebalan bawaan.
Petre mengutip penelitian yang dilakukan para ahli di Yale School of Medicine. Studi itu mengamati bahwa memaparkan sel kekebalan manusia pada BHB dalam jumlah yang diharapkan di dalam tubuh setelah dua hari berpuasa mengakibatkan berkurangnya respons peradangan.
Selain itu, beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa puasa dapat meningkatkan produksi dan regenerasi sel kekebalan sekaligus menekan sitokin inflamasi. Selain potensi manfaat puasa melawan infeksi, puasa dapat membantu penurunan berat badan, serta membantu kondisi pasien dengan diabetes tipe dua.
Berpuasa juga disebut menangkal stres oksidatif, serta menjaga kesehatan jantung serta kesehatan otak. Meski demikian, menurut para ahli, diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami jenis puasa mana yang dapat meningkatkan respons imun tubuh terhadap berbagai kondisi.