REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Studi oleh tim peneliti di Yogyakarta sepanjang 12 tahun membuktikan penerapan teknologi wolbachia efektif menurunkan angka kasus demam berdarah atau yang juga dikenal dengan sebutan dengue. Namun, bagaimana sebenarnya intervensi tersebut bisa mencegah masyarakat tertular dengue?
Profesor Adi Utarini atau yang biasa disapa Profesor Uut, pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menjelaskan lebih lanjut tentang itu. Uut memaparkannya pada webinar nasional Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) bertajuk "Penyebaran Nyamuk Wolbachia di Indonesia", Jumat (24/11/2023).
Disampaikan Uut, wolbachia merupakan bakteri alami di tubuh serangga. Teknologi wolbachia merujuk pada kondisi di mana bakteri itu sengaja dimasukkan ke nyamuk Aedes aegypti melalui telur nyamuk. Dengan adanya bakteri itu di tubuh nyamuk Aedes aegypti, bisa mengurangi replikasi virus dengue.
Perempuan berhijab itu juga menyanggah disinformasi yang selama ini beredar tentang bakteri wolbachia. "Wolbachia tidak bisa berpindah ke manusia. Bakteri wolbachia hanya hidup dalam sel serangga, sehingga aman bagi manusia, hewan, dan lingkungan," ujarnya.
Sebagai buktinya, tim penelitian Uut yang mengembangbiakkan nyamuk wolbachia di laboratorium serangga kerap digigit oleh nyamuk tersebut. Ketika darah mereka dicek berkala dan dilakukan pemeriksaan serologi, tidak ditemukan antibodi terhadap wolbachia.
Sementara itu, jika bakteri itu ada di dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti, justru efektif menghambat perkembangan atau replikasi virus dengue di tubuh nyamuk. Dengan kata lain, ketika nyamuk itu menggigit manusia, kecil kemungkinannya manusia yang digigit nyamuk tertular virus dengue.
Menurut Uut, teknologi itu bisa memberikan proteksi komunitas jangka panjang. Namun, masyarakat perlu membedakan antara penyebab penyakit dan pembawa virus. Penyebab penyakit demam berdarah adalah virus dengue, sementara nyamuk adalah pembawa virus yang bisa menularkannya.
"Bakteri alami wolbachia melawan virusnya, bukan nyamuknya. Nyamuk tetap ada di sekitar kita. Sangat sulit di negara tropis untuk menghilangkan nyamuk," kata Uut.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Mohammad Adib Khumaedi mengatakan bahwa penanggulangan dengue tidak bisa hanya dengan strategi tunggal. Sebab, kondisi tersebut kompleks dan memerlukan upaya komprehensif.
Untuk mencegah dan membatasi terjadinya penyakit, diperlukan pengendalian vektor. Dalam istilah kesehatan lingkungan, vektor merupakan organisme yang menularkan patogen dan parasit dari satu manusia (atau hewan) yang terinfeksi kepada manusia yang lain.
Wujud pengendalian vektor dengue misalnya dengan cara memberantas sarang nyamuk, melakukan 3M (menguras, menutup, mengubur), mengganti air di bak penampungan secara rutin, dan membersihkan saluran air yang menggenang. Masyarakat juga diimbau melakukan pengendalian perkembangbiakan nyamuk dengan memelihara ikan di kolam penampungan atau membasmi larva nyamuk dengan bakteri Bacillus thuringiensis.
Secara kimiawi, bisa dengan menaburkan bubuk abate ke penampungan air, serta fogging atau pengasapan dengan malathion dan fenthion. Inovasi teknologi wolbachia yang studinya telah berlangsung sejak 2011 juga dapat dilakukan.
Upaya yang termasuk dalam "World Mosquito Program" itu sudah mendapat rekomendasi WHO untuk penerapan di Indonesua, terlebih tingkat risikonya terbukti paling rendah. Berbagai strategi penanggulangan apa pun, menurut Adib, harus disosialisasikan dengan tepat.
"Libatkan partisipasi aktif masyarakat, baik lingkungan, sanitasi, gaya hidup sehat, dan edukasi, harus bisa dijelaskan dengan baik ke masyarakat," kata Adib.