REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Korban kejahatan dari peristiwa negatif sering kali malah disalahkan melalui asumsi orang lain. Bahkan, terkadang publik menghakimi dan menganggap mereka pantas menerima kemalangan akibat kesalahannya.
Misalnya, orang mungkin mengkritik korban pelecehan seksual karena cara berpakaian atau waktu mereka keluar pada malam hari. Padahal, sejatinya kecaman harus difokuskan pada tindakan pelaku.
Mengapa orang-orang merespons dengan cara yang tampaknya tidak berperasaan? Penelitian menunjukkan, mungkin ada banyak faktor yang menyebabkan itu dari sisi psikologis, seperti berikut, dikutip dari laman Psychology Today, Rabu (15/11/2023):
1. Merasa resah
Melihat orang lain menjadi korban secara tidak adil dapat mengancam rasa aman seseorang. Mereka menganggap jika hal buruk itu terjadi pada orang lain, tentu saja bisa dialami oleh diri sendiri.
Untuk menghindari pemikiran yang meresahkan ini, akhirnya mereka memberi afirmasi kepada diri sendiri bahwa korban pasti telah melakukan kesalahan dan selama kita tidak melakukan hal tersebut, kita akan terlindungi. Cara berpikir seperti ini merupakan mekanisme pertahanan yang muncul dari keinginan untuk merasakan kendali dan prediktabilitas di dunia yang seringkali acak dan tidak adil.
2. Ingin menjauhkan diri secara moral dari korban
Mungkin juga mengasosiasikan korban dengan suatu kejahatan atau perbuatan buruk dapat menimbulkan stigma dan rasa bersalah. Masyarakat mungkin terdorong untuk menjauhkan diri dari peristiwa yang mengganggu tersebut secara keseluruhan, termasuk dari pihak yang tidak bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.
Para peneliti menemukan bahwa pembatasan jarak ini kemungkinan besar terjadi di antara orang-orang yang lebih mementingkan nilai-nilai kesetiaan, kepatuhan, dan kemurnian. Sebuah rangkaian penelitian menemukan bahwa peserta dengan nilai-nilai ini lebih cenderung percaya bahwa para korban “terkontaminasi” oleh kejahatan perampokan atau kekerasan seksual.
3. Mereka lebih berempati terhadap pelakunya
Menempatkan diri pada posisi korban dan mencoba melihat sudut pandang mereka dapat mengurangi rasa bersalah. Misalnya, kita mungkin bisa lebih memahami alasan mereka tidak melawan atau segera melaporkan suatu kejadian. Namun, berempati kepada korban tidak selalu merupakan sikap default seseorang. Khususnya jika mereka mempunyai lebih banyak kesamaan dengan pelaku atau dapat berhubungan dengan mereka dalam beberapa hal.
Dalam sebuah penelitian, peserta yang memiliki jenis kelamin yang sama dengan pelaku dalam skenario hipotetis cenderung merasakan empati dan kasih sayang yang lebih besar terhadap mereka, yang pada gilirannya menyebabkan pemberian tanggung jawab yang lebih besar kepada korban. Temuan serupa terjadi pada latar belakang budaya. Para peneliti yakin hal ini terjadi karena orang-orang termotivasi untuk melihat “kelompok” mereka dan lebih jauh lagi, diri mereka sendiri, secara positif.
4. Tidak memanusiakan korban
Korban kadang-kadang digambarkan dengan cara yang objektif, dengan gambar dan deskripsi yang berfokus pada penampilan dan pakaian mereka seolah-olah atribut fisik dapat menjelaskan atau membenarkan suatu serangan. Penelitian menemukan penggambaran yang tidak manusiawi seperti ini dapat membuat korban dipandang sebagai orang yang tidak mampu menanggung penderitaan.
Misalnya, dalam sebuah penelitian yang seluruh partisipannya membaca deskripsi yang sama tentang kekerasan seksual. Mereka yang pertama kali melihat gambar korban perempuan yang mengenakan pakaian renang secara objektif cenderung mengatakan bahwa ia berperilaku ceroboh dan menuntun pelaku, dibandingkan mereka yang tidak melihat gambaran yang kurang objektif dari wanita yang sama.
5. Punya kepribadian gelap
Sebuah studi baru menunjukkan sekelompok orang tidak hanya cenderung terlibat dalam sikap menyalahkan korban, tapi juga tampaknya mendapatkan kesenangan dari tindakan tersebut. Peserta yang mendapat skor lebih tinggi pada ukuran “sadisisme sehari-hari” lebih cenderung melaporkan merasakan emosi positif seperti kegembiraan, kesenangan, dan hiburan sebagai respons terhadap berbagai kesulitan hipotetis dan kehidupan nyata, seperti penyakit dan cedera, kekerasan seksual, dan diskriminasi. Mereka juga kurang termotivasi untuk membantu dan lebih cenderung menyalahkan korban atas kemalangan yang dialami.