REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi neuroimaging mengungkap efek mencengangkan dari rasa kesepian. Cara otak memproses pandangan terkait dunia nyata bisa terpengaruh oleh rasa kesepian.
Hal tersebut lantas dapat mengaburkan batasan antara teman di kehidupan sebenarnya dan karakter fiksi dari acara televisi. Dikutip dari laman PsyPost, Senin (13/11/2023), temuan itu telah diterbitkan di Cerebral Cortex.
Studi menunjukkan, individu yang kesepian berpotensi mengalami respons saraf yang lebih mirip ketika memikirkan teman di dunia nyata dan karakter fiksi, dibandingkan dengan individu yang tidak terlalu kesepian. Penelitian dilatarbelakangi oleh masa pandemi Covid-19 yang membatasi kesempatan untuk bersosialisasi dengan teman. Orang-orang di seluruh dunia beralih mencari hiburan ke serial televisi, buku, dan bentuk fiksi lainnya untuk mengisi kekosongan yang diakibatkan isolasi.
Pada saat yang sama, terdapat peningkatan kekhawatiran mengenai kesepian, terutama di kalangan dewasa muda. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa individu cenderung mencari rasa keterhubungan sosial melalui pengalaman yang dimediasi.
Contohnya, seseorang memilih berinteraksi dengan karakter fiksi ketika merasa ditolak secara sosial atau kesepian. Penelitian terbaru lantas bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan antara rasa kesepian dan cara otak memproses teman sejati dan karakter fiksi.
Riset itu melibatkan 19 peserta (10 perempuan, sembilan laki-laki) yang tidak kidal dengan usia rata-rata 24 tahun. Semuanya merupakan penggemar serial televisi "Game of Thrones". Peneliti memilih acara itu karena menampilkan banyak karakter berbeda, sehingga memungkinkan keterikatan beragam.
Selama proses neuroimaging fungsional, otak peserta dipindai menggunakan teknologi fMRI. Dalam studi tersebut, peserta diperlihatkan serangkaian nama, termasuk diri mereka sendiri, sembilan teman mereka, dan sembilan karakter dari "Game of Thrones".
Karakter-karakter yang dipilih berdasarkan penilaian peserta sebelumnya mengenai keakraban, kedekatan, kesamaan dengan diri sendiri, kesukaan, keterikatan emosional, dan apakah mereka memandang karakter itu sebagai teman. Selain pemindaian, peserta juga mengisi survei.
Hasilnya menunjukkan bahwa secara umum, medial prefrontal cortex MPFC (wilayah otak yang terkait dengan kognisi sosial dan pemrosesan diri) peserta menunjukkan batasan tegas antara orang yang nyata dan fiksi. Akan tetapi, hasil berbeda terlihat pada individu yang diketahui kesepian.
Penulis studi Dylan D Wagner mengatakan, pada individu yang mengalami tingkat kesepian yang lebih tinggi, batasan antara karakter nyata dan fiksi di MPFC otak menjadi semakin kabur. Peserta yang lebih kesepian menunjukkan representasi saraf yang kurang jelas antara orang nyata dan fiksi, menunjukkan bahwa mereka menganggap karakter fiksi mirip dengan teman sejati.
"Meskipun kita mungkin merasa sangat tertarik pada dunia dan karakter acara dan cerita yang kita sukai, otak tetap mengategorikan orang yang nyata dan fiksi dengan cara yang sangat berbeda. Namun, di antara individu-individu yang lebih kesepian, batasan itu hilang, dengan karakter fiksi terdekat semakin terlihat seperti teman yang sebenarnya," kata Wagner.
Meskipun penelitian ini menawarkan wawasan menarik tentang bagaimana kesepian dapat memengaruhi persepsi otak terhadap karakter fiksi, Wagner menyoroti studi pada keterbatasan. Salah satunya, karena karakter fiksi yang dipelajari berasal dari serial fantasi.
Itu berpotensi memengaruhi hasil karena sifat dan latar karakter yang ekstrem. "Ada beberapa petunjuk dalam data bahwa hal itu juga bisa terjadi sebaliknya. Artinya, pada orang yang kesepian, orang lain mulai terlihat lebih mirip dengan karakter fiksi, mungkin karena kurangnya interaksi dengan teman dekat dan kenalan," ujar profesor psikologi di The Ohio State University itu.