Kamis 05 Oct 2023 23:39 WIB

Fitofarmaka Bukan Tergolong Obat Tradisional, Bisa Ditanggung BPJS?

Di Indonesia, fitofarmaka masih tergolong obat tanpa resep.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Lida Puspaningtyas
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti mengapresiasi upaya yang dilakukan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) KRMT Wongsonegoro Semarang yang telah berhasil melakukan transformasi mutu layanan kesehatan dengan baik.
Foto: BPJS Kesehatan
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti mengapresiasi upaya yang dilakukan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) KRMT Wongsonegoro Semarang yang telah berhasil melakukan transformasi mutu layanan kesehatan dengan baik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, telah menegaskan bahwa fitofarmaka bukan tergolong sebagai jamu dan obat tradisional. Sehingga Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mendorong agar fitofarmaka nantinya bisa ditanggung BPJS Kesehatan.

Staf Khusus Menteri Kesehatan RI Prof Laksono Trisnantoro memaparkan, di masa lalu, fitofarmaka sering diasosiasikan obat tradisional yang tidak bisa masuk ke BPJS Kesehatan. Undang-Undang ini menjadi kunci yang menegaskan hal tersebut.

“Ketika Undang-Undang sudah tegas, ini memperbesar peluang fitofarmaka dalam pelayanan kesehatan, khususnya yang didanai BPJS,” ujar Prof Laksono dalam webinar bertajuk ‘Fitofarmaka Bagi Tenaga Kesehatan dan Tenaga Medis’, Kamis (5/10/2023).

Sejak 1992, Kemenkes telah mengeluarkan pedoman soal fitofarmaka. Namun 30 tahun berselang ada 26 fitofarmaka, tetapi belum ada satu pun yang masuk dalam BPJS Kesehatan. Sementara sekarang, fitofarmaka sudah termasuk pengobatan modern dengan khasiat yang sama.

Prof Laksono mengatakan penggunaan fitofarmaka bisa menjadi salah satu alternatif yang lebih murah, seperti untuk penyakit hipertensi dan diabetes. Namun di Indonesia, fitofarmaka masih tergolong obat tanpa resep, dan ke depannya akan sangat mungkin diharuskan memakai resep.

Dia mengungkapkan bahwa industri jamu nasional saat ini diperkirakan menyentuh angka Rp 20 triliun. Dengan angka tersebut, penggunaan fitofarmaka juga berpeluang mencakup segmentasi pasar BPJS Kesehatan dan non-BPJS Kesehatan.

Pemantapan dari dokter, khususnya yang berada di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKTRL), perlu disosialisasikan agar dapat meresepkan obat fitofarmaka kepada pasien. Sehingga penggunaan fitofarmaka dapat ditanggung oleh skema pembayaran BPJS Kesehatan.

“Kemantapan perlu dimulai sejak pendidikan di Fakultas Kedokteran, apakah ada materi terkait obat herbal? Jadi jangan sampai kita itu melihat obat herbal itu identik dengan jamu yang harus diramu sendiri. Itu jalurnya lain. Tapi ini adalah pendidikan obat herbal yang sama dengan obat lainnya,” kata Prof Laksono.

Ia memberi contoh pada penanganan pasien kanker, bisa dibarengi dengan pemberian resep fitofarmaka. Atau pada pasien diabetes, untuk menurunkan kadar gula darah bisa juga dilakukan dengan obat fitofarmaka.

Ke depannya, Prof Laksono berharap penggunaan fitofarmaka bisa dilakukan dengan resep. Kemudian dapat mempercepat pelayanan kesehatan di Indonesia, khususnya dalam rangka melakukan upaya promotif dan preventif kesehatan di masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement