REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Staf Teknis Komunikasi Transformasi Kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI R.A. Adaninggar Primadia Nariswari mengimbau masyarakat waspada akan bahaya perlemakan hati karena tidak bergejala di tahap awal.
"Fatty liver (perlemakan hati) dalam 80-90 persen kasus gak ada gejalanya, kecuali jika banyak banget (lemaknya)," katanya dalam acara gelar wicara terkait perlemakan hati yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu (20/9/2023).
Ia menjelaskan perlemakan hati diakibatkan oleh cadangan lemak berlebih yang disimpan tubuh pada organ hati (lever).
Adapun cadangan lemak berlebih tersebut, ungkap dia, tak bergejala pada manusia, lantaran organ tubuh manusia memiliki sistem kompensasi tertentu untuk bekerja lebih dari yang seharusnya.
Kompensasi tersebut, jelas dia, dapat mempertahankan fungsi organ tubuh untuk bekerja seperti biasa, namun dengan tingkat kompensasi yang berbeda. Menurutnya, hal ini lah yang mengakibatkan seolah-olah penyakit menjadi tak bergejala.
"Misalnya ada yang mengatakan saya gak apa-apa nih gemuk, makan gula banyak, tidak sakit. Artinya itu dalam keadaan tubuh sedang berkompensasi," ujarnya.
Ketika sudah berada pada tahap dekompensasi, lanjut dia, maka terjadilah gejala-gejala perlemakan hati, yang umumnya mirip seperti gejala pada penderita hepatitis.
Gejala perlemakan hati, kata dia, terasa seperti perut begah, lemas, serta perasaan mudah mengantuk yang lebih dari biasanya. Jika perlemakan hati didiamkan dalam waktu yang lama, sambungnya, maka dapat menyebabkan sirosis dan kanker hati.
Oleh karena itu, dia mengimbau kepada masyarakat agar waspada terhadap perlemakan hati dengan mengonsumsi makanan bergizi dan berolahraga secara rutin.
Selain itu, ia juga mengimbau kepada masyarakat yang memiliki faktor risiko perlemakan hati untuk melakukan pemeriksaan kesehatan, terutama dengan alat ultrasonografi (USG) untuk mengetahui tanda perlemakan hati dalam tubuh.