Selasa 08 Aug 2023 12:05 WIB

Makan Gorengan Bisa Jadi Haram, Kenali Titik Kritisnya

Tidak disarankan membeli minyak goreng jelantah yang tidak jelas sumbernya.

Rep: Santi Sopia/ Red: Natalia Endah Hapsari
Saat membeli gorengan, pastikan bahwa minyak goreng yang dibeli telah bersertifikat halal./ilustrasi
Foto: Republika
Saat membeli gorengan, pastikan bahwa minyak goreng yang dibeli telah bersertifikat halal./ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Makan gorengan sudah menjadi hal umum di kalangan masyarakat Indonesia. Namun, apakah makan gorengan sudah bisa dipastikan selalu halal kendati bahan yang digoreng tidak haram? Jawabannya belum tentu. Sebab, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. 

Dilansir dari laman Halal MUI, Selasa (8/8/2023), hal pertama yang bisa diperhatikan adalah terkait produk minyak goreng yang digunakan. Pastikan bahwa minyak goreng yang dibeli telah bersertifikat halal. 

Baca Juga

Tidak disarankan membeli minyak goreng jelantah yang tidak jelas sumbernya untuk menghindari potensi tercampur dengan bahan haram. Jika ingin membeli gorengan, pastikan bahwa pedagangnya menggunakan minyak goreng yang sudah bersertifikat halal, bukan menggunakan minyak jelantah.

Beberapa poin yang dapat dicermati untuk tanda-tanda minyak goreng tidak layak, seperti tidak memiliki kebeningan yang baik; saat disaring masih ada sisa partikel/remah gorengan. Lalu tercium sisa aroma bahan yang digoreng dan minyak mudah berasap saat dipakai. 

Pada prinsipnya, minyak goreng yang bisa terkontaminasi dengan bahan haram seperti babi. Minyak goreng yang lazim digunakan ibu rumah tangga atau di warung-restoran, biasanya jernih kuning keemasan, dengan aromanya yang khas, jauh dari bau tengik minyak mentah. 

Dijelaskan bahwa di industri makanan dan obat-obatan, kerap memanfaatkan bahan karbon aktif sebagai penyaring cairan, termasuk minyak goreng. Bahan baku karbon atau arang aktif ini bisa berasal dari nabati seperti kayu dan tempurung kelapa yang diolah menjadi arang. Atau bisa juga berasal dari bahan hewani, terutama tulang hewan yang diolah menjadi arang. 

“Kalau berasal dari tulang hewan, maka bahan karbon aktif ini harus dicermati dan diteliti dalam proses sertifikasi halal, jangan sampai menggunakan bahan yang berasal dari tulang babi,” kata Ir Nur Wahid MSi.

Di kawasan Eropa, misalnya, tentu lebih sulit menemukan tempurung kelapa atau kayu. Sehingga tulang babi kerap menjadi pilihan. 

Para ulama di Komisi Fatwa (KF) MUI pun telah menetapkan fatwa, tidak boleh ada ‘intifa’ atau pemanfaatan bahan dari babi dalam proses produksi dan pengolahan produk pangan. Maka proses sertifikasi halal menjadi upaya memastikan bahan-bahan dan proses yang dilakukan dalam produksi pangan, obat-obatan dan kosmetika, benar-benar tidak mengandung unsur yang haram menurut syariah. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement