REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski media sosial memberikan dampak positif pada anak bila digunakan dengan bijak, namun ternyata lebih banyak dampak negatifnya. Hal itu diungkapkan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa subspesialis anak dan remaja (psikiatri) dari RS Pondok Indah - Bintaro Jaya, dr Anggia Hapsari, SpKJ, SubspAR (K). Salah satunya berdampak pada kesehatan mental anak.
"Dari penggunaan media sosial masalah kesehatan mental cukup luas dari yang ringan, sedang hingga berat," ujarnya dalam Exclusive Media Interview, dengan topik "Cerdas Bermedia Sosial Menuju Generasi Emas", Jumat (21/7/2023).
Dampaknya bisa membuat anak murung, cemas, bahkan sampai dampak berat salah satunya anak menjadi menarik diri. Menurutnya ketika itu terjadi anak akan menerapkan sedentary lifestyle, gaya hidup soliter hanya interaksi diri sendiri, seakan-akan tidak perlu berhubungan dengan orang lain. "Hal ini bisa memicu gangguan mental yang lebih banyak lagi," tambahnya.
Selain itu, media sosial juga menyebabkan gangguan fisik seperti waktu tidur terganggu, malas beraktivitas atau bergerak, pola hidup berubah karena mereka terisolasi dengan dunia digital mereka.
Dampak penggunaan internet berkelanjutan dengan durasi lebih dari empat jam per hari dapat meningkatkan kerentanan terjadinya adiksi perilaku, gangguan pengendalian impuls, dan subtipe gangguan obsesif kompulsif.
"Adanya gangguan dari subtipe obsesif kompulsif, ketika tidak main game atau tidak online, mereka akan terus menerus terpikirkan, bukan hanya terus menerus terpikirkan, mereka menyikapi dengan perilaku ritual tertentu untuk meniadakan pikiran tersebut.
Dampak lainnya anak sulit mengendalikan dorongan dalam diri mereka untuk stop main game. Bahkan gangguan pengendalian impuls ini bisa berupa tik, sehingga mereka kemudian terlihat berbeda dari anak-anak seusianya.
"Jadi dampak yang paling berat itu bukan sekedar kecemasan atau depresi, bisa menimbulkan gangguan tik atau gangguan psikotik," tambahnya.
Menurutnya, anak yang mengalami gangguan ini, tidak bisa membedakan mana dunia yang nyata yang mereka hadapi sekarang dengan dunia maya atau dunia digital yang mereka lakukan sehari-hari itu dalam dunia permainan mereka terutama bermain game online atau nonton YouTube terus menerus tentang kekerasan terkait game.
"Jadi mereka berfikir dunia nyata yang mereka hadapi seperti dunia di game. Mereka tidak bisa bedakan dunia nyata dan maya dan diikuti oleh pikiran atau obsesi dengan hal tersebut dan ada keinginan meniadakan pikiran tersebut," ujarnya.
Berlanjut hingga dewasa
Gangguan psikologis ini, lanjutnya, bisa berlanjut hingga dewasa. Ketika screen time anak terlalu banyak dan itu mungkin tidak disadari oleh orang tua, pasti anak itu sudah ada gangguan masalah tidur, ada gangguan fisik kelebihan berat badan atau beratbadan kurang sehingga tidak disadari ada gangguan mood.
"Mudah labil, mudah merasa kosong, mudah merasa tumpul, datar, flat, mudah marah, tersinggung tanpa sebab yang jelas dan sudah pasti ada gangguan atensi dan fokus pada belajar mereka," ujarnya.
Jika terus dibiarkan dan tidak disadari orang tua, menurut dr Anggia, biasanya saat dewasa akan berdampak pada tugas dan fungsi mereka saat itu.
"Misalnya mereka harusnya 19 tahun sudah bisa kuliah dan mandiri. Tapi kelihatannya mereka tidak bisa kuliah, gagal terus. Alasan jurusan tidak sesuai, tidak suka pelajarannya atau nilai jeblok," jelasnya.
Begitupun saat memasuki dunia kerja, mereka tidak bisa produktif. Bahkan untuk apply pekerjaan saja mereka tidak bisa. "Seperti itu dampaknya kalau tidak diatasi."