REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pergaulan bebas belakangan seperti sudah lazim di masyarakat. Sebenarnya, apakah manusia bisa hidup hanya dengan egonya tanpa memikirkan aturan, adat, moral, dan agama?
Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Ibrahimy, Jawa Timur, Prof HM Baharun mengatakan, ketika manusia menuruti egonya, pemikiran liar pun muncul. Misalnya, mereka menganggap seks adalah kebutuhan yang harus terpenuhi dan sah melakukannya meski belum menikah.
Itu membuat mereka bisa berganti pasangan demi memenuhi "kebutuhan" birahinya. Prof Baharun mengingatkan pemikiran ini kesalahan besar.
"Itu sama seperti orang yang belum dapat rezeki karena miskin, maka ia mencuri. Jelas kontradiktif dan tidak produktif," ujar dia saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (7/7/2023).
Prof Baharun mengilustrasikan, memasuki usia 20 tahun, orang sudah dianggap sebagai usia yang dibolehkan untuk menikah, dan melakukan hubungan seks di usia ini memang memiliki berbagai manfaat. Beberapa penelitian juga menyebut bahwa melakukan seks pada pasangan dapat memberikan manfaat kesehatan tubuh dan mental.
Tapi jika dilakukan di luar nikah, ternyata itu memberikan dampak sebaliknya. Meski penelitian di barat tidak menyebutkan pasangan ini harus halal, namun banyak sekali kejadian seks pranikah berujung hal negatif bagi manusia itu sendiri.
Seperti data di Inggris yang menyebut kasus infeksi menular seksual (IMS) di sana mencapai puncaknya pada 2022. Penyakit gonore atau kencing nanah dan sifilis menempati peringkat terbanyak, diderita oleh usia 18 hingga 24 tahun yang kerap melakukan seks bebas.