Selasa 27 Jun 2023 23:28 WIB

1 dari 3 Wanita di Dunia Alami Kekerasan dari Pasangan

Kekerasan yang terjadi bisa berupa fisik, seksual, emosional, hingga finansial.

Rep: Desy Susilawati/ Red: Qommarria Rostanti
Kekerasan terhadap perempuan (ilustrasi). Satu dari tiga perempuan mendapatkan kekerasan dari pasangan.
Foto: pixabay
Kekerasan terhadap perempuan (ilustrasi). Satu dari tiga perempuan mendapatkan kekerasan dari pasangan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernahkah teman atau kerabat Anda mengalami kekerasan dalam hubungan pasangan? Atau justru Anda sendiri yang mengalaminya? Ternyata kasus kekerasan dalam hubungan dengan pasangan banyak terjadi.

General Manager L'Oreal Luxe Division Indonesia, Maria Adina, mengatakan satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan dalam hubungan dengan pasangan selama hidupnya. "Itu benar-benar insiden cukup tinggi. Saya bilang sangat tinggi," ujarnya dalam Konferensi Media-YSL Beaute Abuse is Not Love 2023, Selasa (27/6/2023).

Baca Juga

Hal ini dapat terjadi pada perempuan maupun laki-laki, dengan prevalensi terbesar terjadi pada generasi muda berusia 16 hingga 24 tahun. "Insiden ini banyak terjadi terutama banyak pada anak muda dibawah umur 24 tahun. Dimana yang namanya rasa cinta masih meletup-letup, rasa sayang, rasa cinta, lagi hot-hotnya, on fire," ujarnya.

Menurutnya, anak muda saat ini bisa disebut bucin jadi atas nama cinta menerima kekerasan tersebut dan melakukan apa yang diinginkan pasangan Anda. Brand General Manager YSL Beauty Indonesia, Erlangga Satrio, mengatakan hal serupa.

Menurut data dari WHO, satu dari tiga perempuan di dunia telah mengalami kekerasan. Kekerasan dalam hubungan dengan pasangan merupakan salah satu masalah sosial utama yang dapat terjadi dalam berbagai bentuk seperti kekerasan fisik, seksual, emosional, finansial, hingga pengendalian perilaku oleh pasangan.

Executive Director Pulih Foundation, Yosephine Dian, mengatakan definisi kekerasan dalam hubungan dengan pasangan menurut WHO adalah perilaku serupa dengan berbagai tindak kejahatan yang menyebabkan masalah jangka panjang pada fisik, kesehatan mental bahkan dapat berujung kematian. Bentuk kekerasan pada pasangan bisa berupa fisik, seksual, emosional hingga finansial. "Ini kekerasan yang umum terjadi baik pada perempuan dan laki-laki," ujarnya.

Berdasarkan data Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2023, kekerasan dalam hubungan dengan pasangan mendominasi pengaduan ke Komnas Perempuan di kategori ranah personal. Terdapat 713 kasus kekerasan yang dilakukan oleh mantan pacar, 622 kasus kekerasan terhadap istri, dan 422 kasus kekerasan dalam pacaran.

"Dari berbagai jenis kekerasan tersebut yang banyak terjadi diranah personal adalah kekerasan psikis, yang kadang mungkin kita tidak disadari," ujarnya.

Menurut data WHO, kekerasan dalam hubungan dengan pasangan terjadi pada usia dewasa muda antara 16 sampai 24. Hal ini disebabkan karena kesalahpahaman mengenai definisi hubungan yang sehat pada tahap awal, tidak mengenali bagaimana hubungan sehat dan bagaimana relasi tidak sehat.

Selain itu, karena adanya normalisasi dari tanda-tanda kekerasan dalam hubungan dengan pasangan. "Seseorang tidak dapat membedakan atau salah mengidentifikasi tanda-tanda kekerasan yang dilihat sebagai bentuk cinta," ujarnya.

Hal ini dikarenakan tidak adanya tolok ukur kolektif tanda-tanda kekerasan dalam hubungan dengan pasangan sehingga berdampak pada normalisasi kekerasan dalam hubungan dengan pasangan.

"Salah satu faktor fenomena ini terus terjadi karena adanya mispersepsi dalam masyarakat tentang hubungan dengan pasangan yang sehat dan seringkali kekerasan ini dinormalisasi sebagai bentuk ekspresi cinta," ujarnya.

Tak hanya itu, kasus kekerasan dalam hubungan dengan pasangan tidak dilaporkan oleh korban. Hal ini terjadi karena berbagai alasan, bisa karena rasa malu, takut, ketergantungan ekonomi dan tekanan sosial.

Hal ini menyebabkan kasus kekerasan seringkali tidak diatasi dengan akurat. "Ketiga faktor tersebut menunjukkan, kekerasan dalam hubungan dengan pasangan adalah isu penting dan harus jadi isu bersama sehingga butuh upaya kolektif untuk mencegah kesalahpahaman dalam melihat tanda-tanda kekerasan," ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement